Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011

Awardeestory | 17-10-2023

Cerita Dokter Gigi Disabilitas, Menembus Batas dengan Keterbatasan

Penulis
Tony Firman

Fotografer
Dok. Mochamad Nur Ramadhani

Keterbatasan fisik yang dimiliki Mochamad Nur Ramadhani sama sekali tidak menghalanginya untuk meraih mimpi untuk menempuh pendidikan tinggi dan menjadi dokter gigi. Dhani, demikian akrab ia disapa, adalah penyandang disabilitas fisik. Sehari-hari, dokter muda ini berjalan menggunakan satu kaki palsu atau prostesis.

Dhani kehilangan kaki kanannya sejak remaja, masa di mana seharusnya ia bisa melakukan banyak aktivitas seperti remaja pada umumnya. Tidak memilih untuk terpuruk, Dhani membuktikan bahwa ia bisa terus melaju menjalani kehidupan dan kariernya yang cemerlang.

Bapak satu anak ini adalah lulusan S1 Fakultas Kedokteran Gigi dan meraih gelar master dari Humboldt Universitaet Zu Berlin. Inilah cerita perjalanan seorang dokter difabel yang mendapat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini.

Kanker Tulang dan Amputasi Kaki

Masa kecil Dhani dihabiskan di Jerman mengikuti ayahnya yang sedang bertugas. Dhani gemar sekali bermain sepak bola selama di sana. Hari-hari pria kelahiran Bandung saat luang banyak diisi dengan memainkan si kulit bundar. Tiba saat kelas tujuh, Dhani pulang ke Indonesia seiring dengan selesainya tugas sang ayah di Negeri Panzer.

Namun, sesuatu yang tidak diduga dan tak diinginkan terjadi dalam diri Dhani. Ia divonis menderita kanker tulang setelah setahun tinggal di Indonesia. Sel ganas ini muncul di atas lutut kanannya dan menyebar cepat ke kakinya. 

Dhani tak mengetahui pasti penyebab dan kenapa bisa berada di tubuhnya. Ia hanya bisa menduga karena seringnya aktivitas fisik dan benturan, iklim yang berbeda, atau mutasi gen disinyalir menjadi pemicu serangan kanker tulang di kakinya.

Satu-satunya jalan agar kanker tak terus menjalar ke bagian tubuh yang lain adalah dengan mengamputasi kaki. Tentu ini bukan kabar baik. Butuh waktu sekitar enam bulan untuk Dhani mencerna semua kondisi yang terjadi termasuk memutuskan amputasi.

Pihak keluarganya sangat berat untuk mengambil keputusan. Tak ada pilihan lain untuk mengakhiri ganasnya kanker tulang yang telah menggerogoti kaki kanannya selain amputasi.

“Karena kalau misalkan diamputasi, mungkin aktivitas akan terbatas. Tapi saya yakin menyelamatkan satu nyawa ya, ini (kaki) nanti akan bisa digantikan dibandingkan kita harus mempertahankan satu kaki dan belum tentu terselamatkan juga sehingga memutuskan untuk diamputasi,” tuturnya.

Akhirnya pada 2008, Dhani harus berpisah dengan kaki kanannya. Mulai paha bagian atas hingga ujung kaki harus dikorbankan untuk menghentikan ganasnya sel jahat itu. Kemoterapi dilakukan setelahnya untuk memastikan sel kanker benar-benar hilang dari tubuh Dhani.

Hidup Baru Seorang Disabilitas

Kondisi tubuh Dhani pasca amputasi masih sangat lemah karena efek serangan kanker sebelumnya. Fisiknya ringkih, untuk berdiri saja tidak bisa dan kemana-mana harus menggunakan kursi roda. 

Orang tuanya setia menemani masa-masa pertama Dhani yang sulit itu. Berangsur saat tubuh mulai bugar dan berisi kembali, Dhani mulai belajar berjalan menggunakan tongkat kaki. 

Tak mudah bagi seorang Dhani yang kala itu masih remaja harus beradaptasi untuk memulai hidup baru. Menjadi seorang dengan disabilitas daksa adalah ujian besarnya baik dari fisik dan psikis. 

"Umur (baru) 14 tahun, minder pasti ada. Secara pribadi awalnya masih belum siap, tapi hidup harus terus berjalan dan ini adalah ujian yang akan membuat saya lebih kuat", kata anak pertama dari empat bersaudara ini.

Saat proses amputasi dan penyembuhan di tahun 2008 itu, Dhani harus melewatkan Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia kemudian memutuskan untuk mengulang kelas 9 SMP agar bisa mengikuti ujian dengan baik. 

Hari-hari dengan hidup barunya terus berjalan dengan luar biasa. Prestasi akademiknya muncul saat nilainya di Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi yang tertinggi dan berhak mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan. Sayangnya saat mengambil jurusan kedokteran umum di jalur undangan tersebut, ia belum berhasil.

Banyak kampus yang mensyaratkan mahasiswanya tidak boleh tuna daksa. Sampai akhirnya ia berjodoh dengan Universitas Padjajaran yang tak mempermasalahkan tuna daksa untuk mengenyam pendidikan dokter gigi. 

Namun sebelum perkuliahan dimulai, Dhani sempat dipanggil oleh dekan. Ia diberi tahu bahwa menyelesaikan studi kedokteran dengan status tunadaksa bukanlah hal yang mudah. Kakak tingkatnya yang tuna daksa menggunakan kursi roda ada yang menyerah dengan tak bisa menyelesaikan studi. Hal itu justru menambah lecutan pada diri Dhani agar kampus tak perlu mengkhawatirkan kemampuannya untuk merampungkan pendidikan dokter gigi.

Dhani yang berjalan dengan tongkat ini berhasil menyelesaikan studi dan mendapat gelar spesialis dokter gigi pada 2018. Ia kemudian bekerja di klinik dokter gigi dan di Puskesmas di Gorontalo, Sulawesi Utara. Di saat itulah Dhani juga mulai menggunakan kaki palsu atau prostesis untuk lebih mempermudah aktivitasnya.

LPDP Mewujudkan Mimpi Kembali ke Jerman

Pernah hidup selama tujuh tahun di Jerman saat masa kecil ternyata begitu membekas dalam benak Dhani. Keinginannya untuk ke Jerman terbuka manakala beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan memfasilitasi penyandang disabilitas. Dhani menyasar Humboldt Universitaet di Berlin, Jerman dan mengambil International Health.

"Awalnya kampus saya tidak ada dalam list LPDP Jerman, tetapi karena saya (jalur) afirmasi dan di afirmasi ada nama Humboldt Universitaet dan saya melamar disitu", ungkap Dhani. Lewat jalur afirmasi beasiswa LPDP jalan Dhani terbuka meraih impiannya kembali ke Jerman. "Proses sangat dimudahkan oleh LPDP dari segi aksesibilitas fisik", tambahnya.

Singkatnya, Dhani mendapat beasiswa LPDP dan mulai berkuliah di Jerman pada 2020 dan berhasil meraih gelar Master of Science in International Health dua tahun setelahnya. Pulang ke Indonesia, jalan karier Dhani ternyata mengikuti ayahnya, yaitu sebagai abdi negara. Dhani hingga saat ini tercatat bekerja di Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Perjalanan Dhani dapat menjadi salah satu contoh inspiratif sekaligus motivasi terutama bagi para penyandang disabilitas. Bahwa keterbatasan fisik tak selalu membatasi semangat dan cita-cita untuk meraih masa depan yang lebih baik.

“Pesan saya untuk teman-teman penyandang disabilitas yang ada di seluruh Indonesia, baik yang sudah dewasa maupun yang saat ini masih usia anak-anak, saya berpesan bahwa di dunia ini banyak sekali kesempatan kita untuk berprestasi, melakukan ibadah, beramal berkreasi, berprestasi membanggakan orang tua membanggakan keluarga membanggakan negara,” tutur penerima beasiswa LPDP angkatan PK-147 ini.

Negara hadir melalui LPDP untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar itu dengan adanya beasiswa afirmasi bagi penyandang disabilitas. Semangat yang dimiliki Dhani bukan hanya menginspirasi teman-teman disabilitas, tetapi juga membuka pintu harapan bagi semua orang yang mungkin pernah merasa terbatas oleh apapun. 

Kisah inspiratif drg. Dhani juga tayang di kanal YouTube LPDP dalam segmen LESSON berikut ini