Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011
Lodimeda Kini mengunjungi Museum Svalbard di Norwegia pada saat studi S2 di Belanda

Awardeestory | 26-02-2024

Cerita Lodimeda Kini, Pulang ke Sabu Membangun Tanah Asalnya

Penulis
Tony Firman

Fotografer
Dok. Lodimeda Kini

“Pada akhirnya, keputusan untuk sekolah bisa jadi tidak rasional. Keputusan yang lebih rasional adalah, lebih baik kita merantau, karena bisa memberi makan saudara-saudara yang ada di rumah. Kalau di sekolah belum tentu nanti pulang ke Sabu bisa kerja.”

Itulah yang diungkap Lodimeda Kini (30), perempuan Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) atas kondisi masyarakat di sana.

Sabu Raijua adalah dua kepulauan kecil dengan Pulau Sabu yang lebih besar berdekatan dengan Pulau Raijua. Keduanya ini terpisah dari pulau-pulau besar di NTT. Letaknya berada di antara Samudra Hindia dan Laut Sawu.

Untuk mencapai Kupang yang merupakan ibukota provinsi NTT, butuh waktu satu malam atau belasan jam menggunakan kapal laut. Bila menggunakan pesawat cukup ditempuh hanya cukup 20 menit saja. Tetapi harganya tentu tidaklah murah.

Pendapatan ekonomi masyarakat Sabu tak menentu dengan pekerjaan seperti petani lontar, gula, sawah dan lainnya. Sementara harga bahan bakar minyak jenis Pertalite bisa tembus Rp 25.000 - Rp.30.000 per liternya.

Masyarakat Pulau Sabu tempat Lodi tinggal masih terus bergulat dengan masalah krisis air bersih, sebuah permasalahan struktural yang dihadapi oleh masyarakat NTT lainnya. Wajar apabila banyak dari orang Sabu masih bertarung dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, alih-alih harus memikirkan bersekolah hingga perguruan tinggi. Ditambah untuk mengakses pendidikan terbaik juga semuanya berada di luar Sabu Raijua. 

Bisa dibilang Lodi cukup beruntung karena bisa mengakses pendidikan terbaik hingga ke Eropa. Ia mengantongi ijazah S2 Industrial Ecology dari Leiden University dengan beasiswa LPDP.

Kecintaannya akan Sabu membuat Lodi tak pernah ragu untuk berkarya dari Pulau Sabu dan sekitarnya. Baik sebelum maupun sesudah S2, kegiatannya adalah melakukan riset untuk organisasi nirlaba maupun membantu pemerintah daerah untuk peningkatan kehidupan masyarakat yang lebih baik. 

“Jadi yang saya lakukan di Sabu selama ini riset. Dalam bidang apa? Semua bidang yang ada hubungannya dengan energi, air, dan material walaupun kekhususan saya di S3 adalah tentang air tapi saya percaya bahwa ya pada akhirnya semua aspek kehidupan kita itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya” ujar Lodi saat ditemui di sela-sela acara Persiapan Keberangkatan (PK) awardee LPDP. 

Lodi memang sedang bersiap berangkat ke Belanda lagi untuk melanjutkan pendidikan doktor. Ia mengambil S3 Industrial Ecology di Delft University of Technology (TU Delft) dengan beasiswa LPDP untuk kedua kalinya.

Meski mendapat privilese bisa mengenyam pendidikan tinggi , bagaimanapun, perjalanan hidup Lodi hingga ke titik ini tidaklah mudah. Kepada LPDP, ia membagikan sedikit cerita dari langkah perjalanan panjangnya selama ini.

Terdiaspora hingga Menolak Dubai

Keluarga Lodi berdarah asli Sabu. Situasi kehidupan yang sulit dialami oleh kakek neneknya di masa pendudukan Jepang hingga harus membuat mereka keluar dari Pulau Sabu. Sejak saat itulah keluarga besar Lodi terserak ke sejumlah penjuru tanah air. 

Orang tua Lodi sendiri mendarat di Pangkal Pinang dan pindah ke Bengkulu saat ayahnya mendapat pekerjaan sebagai dosen di Universitas Bengkulu. Ibu Lodi juga seorang dosen setelah sempat vakum menjadi ibu rumah tangga dan kemudian melanjutkan studi S2.

Lodi lahir dan besar di Bengkulu sampai akhirnya merantau meninggalkan kedua orang tuanya karena diterima kuliah di S1 Teknik Industri di Universitas Brawijaya Malang pada 2011. Di kota inilah Lodi banyak bertumbuh, belajar, dan memulai perjalanan proses menjadi dewasa.

Lodi menjalani magang di Gas and Oil Separation Plant di Cepu yang dioperasikan oleh perusahaan Exxon Mobile. Saat sudah lulus sarjana dan melanjutkan magang, ia mengaku sempat ditawari untuk ikut bekerja di Dubai oleh supervisor-nya.

Ajakan ke Dubai dengan gaji yang tidak sedikit kala itu tidak cukup membuat Lodi tertarik dan menerimanya. Idealisme keinginan Lodi lebih tertarik untuk pulang ke Sabu, tanah asal kakek dan nenek moyangnya. 

Rupanya penolakan Lodi saat mendapat penawaran yang mungkin tidak datang dua kali itu punya akar alasannya. Orang Sabu punya tradisi sejarah tutur membaca silsilah keluarga dari kakek nenek hingga moyang. Mereka selalu mengusahakan ketertarikan akan Pulau Sabu kepada para generasi penerus. Tradisi tutur silsilah lisan ini juga dilakukan oleh keluarga besar Lodi hingga membuatnya punya keterikatan yang sangat kuat akan tanah leluhurnya itu.

“Inilah yang membuat Beta selalu merasa dekat dengan Sabu dan membuat Beta memutuskan untuk setelah Beta kuliah, setelah selesai magang, memutuskan untuk kembali ke Sabu dan keputusan ini Beta jalani sampai hari ini” tuturnya.

Hidup di Sabu, Merajut Pendidikan Tinggi

Tak ada rencana yang dibawa pulang Lodi seketika. Ia hanya ingin sampai di tanah moyangnya. Lodi pertama-tama berada di Kupang dan mengamati bagaimana orang-orang menjalani kehidupan dan bertahan di sini lalu kemudian baru ke Sabu melakukan hal serupa.

Lodi yang tumbuh besar di luar Sabu mengetahui bahwa masyarakat di tanah leluhurnya ini sebenarnya sangat industrial dalam tingkat yang kecil dan tradisional. Kegiatan para lelaki Sabu adalah pergi memanjat pohon untuk menyadap nira atau lontar dan juga untuk membuat gula merah. Sedangkan para perempuan Sabu dengan tekun menjadi perajin tenun atau memasak gula.

Di sinilah Lodi terpikir untuk merancang produk industri skala kecil menengah untuk membuat hasil karya orang Sabu ini bisa terserap dengan lebih baik. Namun masalahnya lagi, secara geografis Sabu adalah pulau kecil yang dikelilingi lautan ganas. Ini berarti ada masalah ekologis yang harus dipecahkan untuk terus bisa hidup dengan lebih baik.

Keadaan tersebut turut memantik dan mendorong Lodi untuk melanjutkan studi S2 dengan mengambil jurusan Industrial Ecology di Leiden pada 2018. Di sana ia belajar lebih dalam tentang bagaimana material, energi, dan air menjadi tiga faktor yang penting untuk dipahami dalam proses berkehidupan manusia baik orang urban, orang rural, orang industri, orang non-industri.

Ada banyak pekerjaan riset terkait pembangunan manusia dan lingkungan hidup yang dilakukan Lodi selama di pulau Sabu. Sebut saja seperti menjadi konsultan di Satuan Kerja Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Permukiman Bidang Cipta Karya Dinas

Pekerjaan Umum Provinsi NTT, Program Director di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), peneliti di Tulodo dan PRISMA.

Keilmuan dan pemikirannya telah banyak dipakai untuk memberi tanggapan dan menyusun kajian strategis atas pembangunan terutama terkait manajemen air di daerah Sabu dan sekitarnya.

Lodi juga mendirikan proyek museum rintisan bernama Museum Ammu Hawu. Museum ini berupa situs digital ini merekam sekaligus menggali seluruh peradaban sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan hidup yang diwariskan masyarakat Sabu dari generasi ke generasi.

Ammu Hawu sendiri diambil dari nama rumah adat tradisional masyarakat Sabu Raijua. Baginya, siapa lagi yang kalau bukan orang Sabu dan memiliki tekad kuat yang militan untuk merawat dan mengembangkan tanah asalnya.

Penelitiannya terkait masyarakat Sabu juga dituangkan melalui film dokumenter yang sedang digarap bersama suami dan timnya. Film berjudul “Pulau yang Ditinggalkan” mengisahkan dua pemuda yang terpaksa meninggalkan pulau tempat tinggalnya untuk mencari penghidupan dan menyusuri langkah nasib dalam ketidakpastian.

Film dokumenter ini sekaligus menjadi sentimentil dengan perjalanan kehidupan keluarga Lodi. Sebagai orang asli Sabu yang harus pergi jauh keluar dari tanah airnya untuk mencari kehidupan menggapai mimpi dan berusaha mencari kehidupan yang ideal.

Kiat Singkat dan Penting untuk Memulai Studi PhD ala Lodi

Belanda dipilih Lodi karena dinilai memiliki reputasi yang baik dalam urusan manajemen air serta ilmu-ilmu hidrologi terkait. Termasuk saat ia memilih melanjutkan pendidikan doktor di TU Delft yang sekaligus punya sejarah dijadikan percontohan untuk membangun de Technische Hoogeschool te Bandoeng atau kini dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Lodi berbagi pengalaman saat mengurus Letter of Acceptance (LoA) untuk PhD di TU Delft. Pertama-tama, langkah yang paling penting adalah mencari supervisor atau profesornya terlebih dahulu. Pencarian dan pemilihan profesor ini didasarkan pada irisan topik penelitian atau keahlian yang sama dengan kita. Ini dapat dilihat dari berbagai publikasi dan reputasinya agar sama dengan topik yang ingin kita dalami.

“Yang perlu dipikir adalah, studinya profesor itu beririsan atau tidak dengan apa yang ingin kita lakukan. Karena pendidikan PhD ini kan tiga, empat, atau lima tahun. Kita mau ngapain dan profesor itu bisa atau tidak untuk memfasilitasi kita ke arah sana” ungkap Lodi.

Setelah meriset dan menentukan sejumlah profesor, hal berikutnya adalah keberanian mengirimkan proposal penelitian tanpa terlalu khawatir ditolak. Proposal yang dikirim juga tidak perlu harus selalu matang karena pada dasarnya justru akan matang saat riset dimulai ketika studi PhD.

Mendapatkan profesor yang memahami dan menyetujui proposal penelitian kita adalah modal berharga untuk melanjutkan studi PhD. Lodi mengaku tidak dipungut biaya pendaftaran karena TU Delft membebaskan biaya tersebut. Namun jangan lupa, pastikan bahwa kemampuan bahasa Inggris telah sesuai dengan persyaratan skor IELTS yang diminta.

Sertifikat bahasa Inggris diibaratkan layaknya paspor yang melekat dan harus dipenuhi apabila ingin berkuliah di kampus luar negeri idaman. Lodi pun merasakan perjuangannya memperoleh skor IELTS yang tak mudah. Harus meluangkan waktu, berkorban tenaga, konsistensi dan biaya.

LPDP pun telah memfasilitasi jalur pendaftaran khusus bernama Beasiswa Afirmasi yang memfasilitasi para pendaftar untuk mendapatkan sertifikat bahasa secara gratis dengan mengikuti program pengayaan bahasa. Beasiswa Afirmasi sendiri terdiri dari Beasiswa Daerah Afirmasi, Beasiswa Prasejahtera, Beasiswa Putra-Putri Papua, dan Beasiswa Penyandang Disabilitas.

Studi PhD kali ini Lodi tak sendirian. Ia akan didampingi oleh suaminya yang ikut ke Belanda. Kebijakan LPDP untuk mahasiswa doktor memang membolehkan membawa anggota keluarga dan memberikan tunjangan hidup dengan syarat dan ketentuan yang sudah diatur. Rencananya, suaminya yang seorang pembuat film itu ingin sekaligus meningkatkan kapasitas diri di bidang perfilman.

Tak sekali Lodi mencoba mendapatkan beasiswa LPDP. Total ada enam kali percobaan mendaftar beasiswa LPDP. Dua diantaranya lolos untuk S2 dan kini S3. Pertama kali mendaftar adalah tahun 2015 untuk beasiswa S2 dan berhenti sampai di tahap seleksi wawancara. Baru di tahun berikutnya ia lolos dan berangkat ke Leiden University.

Pulang dan banyak disibukkan dengan pekerjaan riset di Sabu, Lodi mencoba untuk mendaftar S3 dan mengalami kegagalan hingga dua kali. Langkahnya terhenti di seleksi bakat skolastik saat mengikuti seleksi pada tahun 2021.

Bisa dibilang tahun 2023 adalah tahunnya Lodi untuk akhirnya bisa kembali kuliah di Belanda. Diwarnai dengan kegagalannya lagi di akhir wawancara pada pendaftaran tahap pertama. Cepat bangkit dan mengikuti pendaftaran tahap kedua sampai akhirnya terbayar dengan dinyatakan lolos menerima beasiswa LPDP.

Perjalanan akademisnya dari S1 hingga S3 tak dirasa Lodi sebagai sesuatu yang melenceng dan berseberangan. Baginya ketika memilih berkonsentrasi pada air di studi S3 ini karena air adalah elemen paling penting dan dasar dalam kehidupan.

“Saya lebih memilih untuk fokus ke air karena air ini sangat penting untuk masyarakat urban maupun rural. Kalau misalkan kita mau bikin industri, kita harus lihat higienitasnya dan itu semua bergantung pada ketersediaan air. Bikin agroindustri urusannya juga sama air lagi” tutur Lodi.

Ajak untuk Mengejar Pendidikan

Dengan segala keterbatasan yang dihadapi oleh masyarakat kepulauan maupun daerah lainnya yang serupa, bagi Lodi justru butuh lebih banyak anak-anak muda di daerah untuk percaya diri membangun mimpi melalui perbaikan pendidikan terlebih dahulu.

Terlebih saat ini pintu kemudahan untuk mengakses pendidikan tinggi terbuka lebar. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan kesempatan berkuliah gratis di jenjang S2 dan S3 menggunakan Beasiswa LPDP yang bisa diikuti oleh semua anak bangsa Indonesia.

“Ayo, walau persiapannya satu tahun, dua tahun, harus bahasa Inggris, lesnya lama, tapi jangan pernah berhenti. Biarpun pelan tapi pada akhirnya kita akan sampai ke titik itu. Yang paling penting adalah konsisten. Kita harus berkorban waktu, berkorban tenaga, berkorban kenyamanan, tetapi untuk sesuatu yang benar-benar baik” ujar Lodi menyemangati.

Pergi untuk kembali menjadi penutup cerita Lodi untuk anak-anak Sabu. Pergi di sini adalah menuntut ilmu, melihat tanah air atau kampung halaman dari tempat yang jauh. Niscaya akan mendapat banyak cara pandang dan peluang yang dapat memajukan diri sendiri dan orang lain.

“Harapan saya LPDP bisa betul-betul berdiri, hadir untuk berkontribusi, menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” tutup Lodi.

Hidupkanlah mimpi dan jadikan itu nyata. Mulailah langkah dari sekarang. Sekecil apapun.