Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011

Awardeestory | 16-06-2023

Cerita Sri Melati, Difabel Netra Lulusan University College London yang Mengabdi Untuk Pendidikan Disabilitas

Penulis
Tony Firman dan Irfan Bayu

Fotografer
Dok. Irfan Bayu

Warna-warni semesta di bola mata Sri Melati boleh hilang, tetapi tidak dengan segenap cita-citanya yang menghadirkan kebermanfaatan bagi sesama. Imel, akrab disapanya, merampungkan studi dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Medan pada 2009. 

Kariernya sebagai penyandang gelar dokter sebenarnya sedang berjalan pada jalurnya. Lulus kuliah, Imel bertugas menjadi dokter di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur selama setahun tepatnya dari 2010 sampai 2011. Namun, di tahun 2011 secara tiba-tiba Imel merasakan ada yang tak beres di kepalanya. Tanpa pernah disangka sebelumnya, dokter memvonis Imel menderita tuberkulosis (TBC). 

Penyakit  TBC benar-benar mendatangkan mimpi buruk manakala penyakit tersebut ternyata bersemayam di otak dan memicu meningitis. Virus TBC kemudian banyak menggerogoti sistem syaraf dalam kepala Imel. Pasca operasi dan sempat mengalami koma selama tiga minggu, Imel justru mendapati kenyataan yang jauh lebih buruk. Ia terbangun dengan kondisi gangguan penglihatan hebat.

Mata kiri Imel mengalami kebutaan total. Sedangkan penglihatan mata kanannya menjadi sangat terbatas atau mengalami tunnel vision. Dengan hanya tersisa mata kanannya, Imel masih bisa melihat seberkas cahaya seperti dari layar gawai dan masih sanggup membaca meskipun sangat terbatas.

Jatuh, Terpuruk di Titik Terendah

Mengalami disabilitas di usia dewasa tentunya membuat hidup Imel terasa runtuh. Kariernya sebagai dokter harus terhenti. Padahal, orang tuanya sangat bangga dengan apa yang sedang dilakoni Imel. Wajar belaka, Imel adalah dokter pertama dan satu-satunya di lingkungan keluarga besarnya. Bisa dibayangkan bagaimana keluarganya boleh berbangga kepadanya.

“Berat bagi keluarga menerima (kondisi disabilitas netra), berat bagi saya,” ujar Imel menceritakan dalam sesi webinar Sosialisasi Pembukaan Beasiswa LPDP 2023 lalu.

Pasca koma, Imel juga harus merasakan separuh badannya mengalami kelumpuhan. Sehari-harinya banyak dihabiskan di tempat tidur. Pikirannya terus berkecamuk, dipenuhi dengan kesedihan dan keterpurukan. 

Sudah banyak obat-obatan dikonsumsi, pengobatan alternatif, bahkan sampai “orang pintar.” pun didatangi. Semua dilakukan dalam rangka ikhtiar mencari kesembuhan meski tak kunjung berbuah hasil baik dan semakin membuat mentalnya ambruk.

Dalam usaha terakhirnya, Imel dibawa keluarga berobat ke Singapura. Di sana Imel malah diberi tongkat oleh dokter untuk belajar berjalan dan disuruh berkumpul dengan teman-teman tunanetra lainnya. Dari keluarganya semakin sadar dan selesai, Imel adalah seseorang dengan disabilitas netra.

Menjadi Guru, Menjadi Bermanfaat

Lima tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk Imel tertegun di rumah. Langkah kaki Imel membawanya masuk ke Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) cabang Medan, sebuah perkumpulan yang mungkin tak pernah sama sekali dibayangkan. 

Di sana Imel bertemu Linda, seorang tunanetra bergelar sarjana yang membuka penitipan untuk anak-anak difabel. Gambaran bahwa tunanetra hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat dan penyanyi pun memudar. Imel tertarik untuk menjadi seorang guru bagi para difabel.

Bersama Linda dan kawan tunanetra lainnya, Imel mendirikan SLBG (Sekolah Luar Biasa Ganda) pada 2016. Proses Imel berperan sebagai guru tentunya sangat luar biasa. Bersama dengan  kelima tunanetra lainnya, mereka merintis sebagai pengajar sekaligus belajar memahami tantangan yang dihadapi para disabilitas.

“Di sini saya ketemu teman-teman luar biasa, para penyandang disabilitas yang tidak umum. Karena kita sudah mau bergerak memulai sendiri.” ujar perempuan keturunan Jawa kelahiran Medan ini.

Kegiatan sekolah dan belajar mengajar mulai berjalan di tahun 2017. Apa yang dirintis Imel bersama rekan tunanetra menunjukkan perkembangan ketika di tahun 2019 terbentuk Yayasan Dwituna Harapan Baru.

Dasar Imel yang ingin terus berkembang, ia tertarik untuk lebih mendalami bagaimana pendidikan bagi para Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Di sinilah Imel mulai berkeinginan untuk berkuliah lagi. Mengambil pendidikan yang relevan dengan dunia barunya ini. 

Menimba Ilmu di London dan Makin Bersinar

Di tahun 2018 Imel sudah mulai mengikuti pelatihan bahasa Inggris di Bali untuk memperoleh beasiswa LPDP. Imel kemudian mendaftar LPDP di pertengahan tahun 2019 melalui Program Beasiswa Afirmasi untuk disabilitas. 

Imel diterima di University College London dengan bidang Special and Inclusive Education pilihannya. Beasiswa LPDP mengantarkannya untuk berangkat ke Inggris pada 2019 dan menamatkan studinya tepat waktu pada 2021. 

Tahun-tahun pandemi Covid-19 tentunya juga membawa tantangan dan kenangan tersendiri bagi Imel. Di awal perkuliahannya dimulai secara daring. Baru di awal tahun 2020 Imel berkesempatan terbang ke London. Namun, setibanya di sana terjadi pemberlakuan lockdown. Alhasil Imel masih melakukan perkuliahan daring.

“Jadi saya berangkat ke Inggris Januari 2021. Saya sampai di sana tanggal 3 Januari, tanggal 4 lockdown. Saya ketawa sama teman yang sama-sama berangkat kesana. Kita lolos,” kenangnya menceritakan susah senangnya berkuliah di masa pandemi.

Ilmu yang didapat Imel dari London diaplikasikan kembali di Yayasan Dwituna Harapan Baru. Imel kemudian banyak berkutat di kegiatan yayasan untuk pengembangan. Yayasan tersebut hadir untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki disabilitas ganda, khususnya bagi anak-anak dengan MDVI (Multiple Disability with Visual Impairment). Semua murid di yayasan tersebut adalah anak-anak tunanetra dengan berbagai disabilitas tambahan. Di sinilah peran Imel untuk turut mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan bagi para disabilitas.

“Fokusnya untuk sosialisasi kepada masyarakat tentang disabilitas itu apa, pendidikan inklusif itu apa, bagaimana masyarakat bisa menerapkan pendidikan inklusif,” terang Imel. Kini, Sri Melati telah menemukan hidupnya kembali. Ia dapat melihat kembali. Cahaya baru yang tak semua orang bisa memandangnya.

“Now I can say that I have no regret for being blind. And I’m proud of myself, proud of what I’m doing now”, pungkas Sri Melati bangga.

#awardeestory #DiriUntukNegeri #BeasiswaLPDP