Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011
Fahmi Sirma Pelu

Awardeestory | 02-05-2024

Fahmi Sirma Pelu, Pegiat Literasi Negeri Hitu yang Diterima di 43 Kampus Luar Negeri

Penulis
Tony Firman

Fotografer
Dok. Fahmi Sirma Pelu

Diterima di satu sampai dua kampus luar negeri mungkin masih lazim dijumpai. Namun bagaimana jika berhasil diterima di 43 kampus luar negeri? Inilah cerita dari Fahmi Sirma Pelu pemuda asal Negeri Hitu, Maluku.

Fahmi, demikian akrab ia disapa, adalah lulusan sarjana Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada pada 2022 silam. Kegemarannya pada disiplin ilmu linguistik dan rumpun sosial humaniora telah mendorong minatnya untuk terus melanjutkan studi ke jenjang magister.

Perjalanan mendapatkan 43 Letter of Acceptance (LoA) bukanlah perkara yang gampang. Fahmi telah lebih dahulu mendapat penolakan dari sana sini.

“Kalau dibilang mudah sih enggak, karena saya sering gagal juga. Beberapa kali saya ditolak di beberapa jurusan. Bahkan di jurusan yang saya pikir saya cukup mumpuni di applied linguistik.” kenang Fahmi.

Ia terutama baru mendapat banyak LoA ketika merampungkan program Pengayaan Bahasa yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Ambon tempat asalnya memang masuk dalam program Beasiswa Daerah Afirmasi. Pengayaan Bahasa secara khusus diberikan untuk peserta yang lolos seleksi Beasiswa Afirmasi.

Dengan sertifikat IELTS di tangan, Fahmi mengaku sekitar 95 persen dari total 43 LoA berhasil diraihnya. Teknik tebar jala dilakukan. Ia gencar mendaftar di kampus mancanegara yang diinginkan dan terutama yang tidak berbayar.

Satu per satu kampus memberikan jawabannya masing-masing hingga tak terasa terkumpul 43 LoA. Nama-nama seperti SOAS University of London, University of Melbourne, The University of Sydney, dan banyak lagi berhasil ia dapat.

Sampai akhirnya ia menjatuhkan pilihan untuk memilih Master of Asian and Pacific Studies di Australian National University (ANU). Alasannya karena di kampus tersebut diisi oleh peneliti-peneliti Austronesia. Ini sejalan dengan minat besarnya untuk mempelajari lokalitas di wilayahnya yang berkelindan dengan rumpun kebudayaan Pasifik dan Melanesia.

Strategi Mendapatkan 43 LoA

Memiliki pengalaman profesional yang terkait dengan jurusan yang diambil menurut Fahmi bisa menjadi nilai lebih saat proses mendaftar mendapatkan LoA. Itu dapat dihubungkan dengan rencana yang ingin dipelajari dan diteliti.

Isi dari esai personal statement turut berpengaruh dalam meyakinkan kampus tujuan untuk menerima lamaran.

“Bagaimana kita bisa menjelaskan diri kita, minat riset kita, dan apa yang sudah kita lakukan di akademik dan di professional experience, saya pikir itu jadi salah satu kekuatan yang saya miliki.” ungkap Fahmi membocorkan tips mendapatkan LoA berdasarkan pengalaman pribadi.

Bahkan Fahmi mengaku pernah mendapat unconditional offer dari Edinburgh University meski ia tak memenuhi nilai IPK minimal yang ditetapkan. Itu bisa terjadi karena menurutnya ia mampu menjelaskan kondisi-kondisi yang membuat nilai IPK-nya di bawah syarat yang ditetapkan. Negosiasi dan redefinisi kelebihan diri menjadi kunci saat ingin meruntuhkan tembok persyaratan.

Tentu bukan tak pernah menemukan kegagalan. Jika ditotal dengan yang tidak diterima, ada sekitar 50 kali lebih dirinya mendaftar kampus untuk dapatkan LoA. Bahkan ia ingat betul ada sejumlah kampus yang mendaftar dengan biaya justru gagal tidak diterima.

Hikayat Tanah Hitu, Pegiat Literasi Sedari SMA

Fahmi lahir besar di Desa Hitu, Kabupaten Maluku Tengah dengan ibu dan satu adiknya. Kedua orang tuanya telah bercerai sejak kecil. Ibunya menjalankan usaha kecil-kecilan di rumah untuk menghidupi kedua anaknya itu.

Letaknya kampungnya memang masih satu pulau dengan Kota Ambon, tetapi jaraknya lumayan jauh lantaran berada di sisi utara pulau Ambon. Karena sekolahnya di Kota Ambon, maka jarak tempuh dari rumah bisa 20 sampai 30 kilometer.

Awal ketertarikannya dengan linguistik adalah saat menonton film Warrior of The Rainbow di masa Sekolah Menengah Atas. Di film itu Fahmi tak sengaja menemukan kosa kata yang mirip dengan bahasa daerahnya. Dari situlah ia terpantik untuk mencari tahu kata-kata tersebut di mesin pencari Google. Ia menemukan fakta bahwa bahasa yang digunakan ternyata masih satu rumpun Austronesia.

Dorongan wacana pengetahuan dan literasi terbentuk dalam diri remaja Fahmi. Bersama dengan 39 orang rekannya, ia mendirikan komunitas literasi bernama “Hikayat Tanah Hitu” berupa perpustakaan keliling. Komunitasnya ini berkembang menjadi arena pertunjukan teater, puisi dan lainnya.

Komunitasnya ini pernah mengikuti Gramedia Reading Community Competition pada 2016 dan berhasil menyabet favorite winner untuk Indonesia Timur.

“Tujuannya agar selain meningkatkan literasi di kampung, juga untuk memberikan, meluaskan, pandangan-pandangan dunia pemuda-pemuda dan generasi selanjutnya di kampung agar bisa meluaskan cakrawala mereka” tutur Fahmi.

Sastra Indonesia di UGM dirasa menawarkan apa yang ia cari. Perjalanannya tak langsung mendarat mulus di salah satu kampus top nasional itu. Di tahun pertama setelah lulus SMA, ia gagal dalam tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan menganggur.

Di tahun berikutnya ia malah diterima di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta setelah tak lolos dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Di ISI dirinya sempat mengadakan pementasan teater etnik Maluku di Taman Budaya Yogyakarta bersama kawan-kawannya. Fahmi masih merasa belum menemukan apa yang ia inginkan.

Baru di tahun 2017 akhirnya Fahmi berhasil menjadi mahasiswa Sastra Indonesia UGM dan langsung aktif mengikuti berbagai kegiatan pengembangan mahasiswa di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM.

Di organisasi pers kampus UGM itu, Fahmi menulis tentang tema-tema masyarakat lokal di daerahnya dalam laporan jurnalistik. Termasuk sempat menulis untuk jurnal Balairung tentang konstruksi identitas poskolonial masyarakat Hitu di pesisir pada 2020.

Tiga tahun mengurus berbagai liputan dan tulisan di lembaga penerbitan itu diakuinya berandil besar dalam membesarkan gairah menimba ilmu humaniora, kaitan bahasa yang mempengaruhi budaya dan sebaliknya.

Ditambah saat ia kepincut oleh koleksi perpustakaan Universitas Leiden yang justru menyimpan sejarah kampung halamannya. Rasa ingin melanjutkan S2 di luar negeri pun membesar. Sampai akhirnya Fahmi mendaftar beasiswa LPDP guna mewujudkan impiannya.

Tidak Asing Mendengar Beasiswa LPDP

Nama LPDP memang tak asing lagi di telinga Fahmi. Lingkungan pertemanannya di kampus telah ada yang melanjutkan studi S2 dan S3 dengan beasiswa LPDP. Sejumlah orang-orang yang dianggap punya reputasi di bidang yang diminatinya juga lulusan beasiswa LPDP.

Juga termasuk banyak kegiatan kebudayaan di ekosistem Jogja turut dibiayai oleh LPDP yang disaksikan Fahmi semasa kuliah dan bertumbuh. Bahkan beberapa orang di kampungnya telah pula mendapat beasiswa LPDP yang kala itu masih bernama program Beasiswa Indonesia Timur.

“Jadi saya pikir cukup dekatlah LPDP dengan perjalanan saya selama menempuh S1 dan sampai akhirnya bisa mendapatkan beasiswa LPDP sekarang ini” tutur Fahmi yang sempat mengikuti rekrutmen pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun 2022 lalu.

Fahmi menyelesaikan sarjana pada 2022 dan pada awal tahun 2023 mendaftar beasiswa LPDP untuk program Beasiswa Daerah Afirmasi. Ketika itu juga ada dua teman dari kampungnya yang turut mengikuti pendaftaran beasiswa LPDP.

Mengintip Esai Kontribusi Fahmi

Salah satu syarat administrasi saat mendaftar beasiswa LPDP adalah melampirkan esai kontribusi yang akan dilakukan pasca lulus kuliah. Pembaca buku Pramoedya Ananta Toer ini menguraikan tentang bagaimana seharusnya membangun masyarakat adat yang berdikari. Artinya masyarakat adat yang mandiri secara ekonomi, politik, dengan seperangkat lokalitas yang tetap relevan dengan modernitas.

Desa-desa di Maluku menggunakan istilah 'Negeri' untuk menunjukkan bahwa wilayahnya adalah desa berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Tidak jarang masyarakat adat dihadapkan pada konflik kepentingan dengan negara atau korporasi besar. Antara pembangunan nasional dan tata kelola tanah adat seharusnya bisa saling beriringan.

Fahmi turut berkeinginan mendorong dan membentuk Pusat Arsip dan Dokumentasi Masyarakat Adat di Hitu yang terintegrasi dengan pemerintah desa. Seperti diketahui bahwa berbagai arsip-arsip lama dari masyarakat Hitu tersebar di berbagai perpustakaan dunia seperti di British Library dan Perpustakaan Universitas Leiden.

Ada pula arsip-arsip lokal yang disimpan secara swadaya di rumah-rumah warga. Pengumpulan arsip Negeri Hitu ini penting dilakukan sebagai upaya mengenal lebih dalam tentang wahana pengetahuan dan peradaban Hitu berbasis data.

Fahmi sadar bagaimanapun meski di Ambon secara fasilitas dan infrastruktur jauh lebih baik ketimbang daerah-daerah terpencil di Maluku lainnya, nyatanya minat untuk studi lanjut masih rendah. Pendidikan baru sampai setingkat SMP atau SMA saja.

“Ada begitu banyak kesempatan yang bisa diraih apabila mau menghidupkan dan mengusahakan mimpi pendidikan. Entah itu datang dari pemerintah, dari swasta dan lain sebagainya. yang penting kita mau berjalan dan mau berlari untuk satu hal yang kita percaya”

Tentu perjalanan Fahmi masih panjang. Ia baru akan berangkat studi pada tahun ini. Tantangan masih di depan mata. Bekal mimpi yang dipupuk, Fahmi sadar pembangunan sumber daya manusia Indonesia itu penting sebagai investasi peradaban berkelanjutan.

“Khususnya untuk saudara-saudara saya yang di Kepulauan Maluku dan daerah Indonesia Timur khususnya, saya Fahmi dan ini cerita saya. Bagi saya pendidikan sangatlah penting untuk kita di sana. Saya pikir masyarakat di desa juga harus berani mengambil keputusan, berani bermimpi, dan jangan takut dengan keterbatasan akses pendidikan.” tutupnya.


Motto #EksplorPotensimu