Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011
Anwar Anas Nasirin, anak panti asuhan yang mendapat Beasiswa Prasejahtera LPDP di Universitas Indonesia

Awardeestory | 08-02-2024

Perjuangan Anak Panti Asuhan yang Kuliah S2 dengan Beasiswa LPDP, Ingin Menjadi Sejarawan

Penulis
Tony Firman

Fotografer
Dok Pribadi. Anwar Anas Nasirin

Ramah, penuh semangat, dan gemar bertutur. Itulah kepribadian yang ditunjukkan Anas Anwar Nasirin atau akrab disapa Anas kepada orang-orang di sekitarnya. Anas saat ini sedang menempuh studi Magister Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia menggunakan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Dibalik pribadinya yang periang, siapa sangka riuh rendahnya perjalanan hidupnya patut menjadi inspirasi dan memotivasi. Pemuda kelahiran 1997 asal Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini menghabiskan masa kecil hingga remajanya di panti asuhan. 

Ayahnya sehari-hari berprofesi sebagai pedagang topi dan peci. Namun, sesuatu hal terjadi. Ayahnya mengalami gangguan jiwa pada 2005. Lima tahun berselang, sang ayah berpulang untuk selama-lamanya meninggalkan seorang istri dan ketiga anaknya.

Sementara ibu Anas yang membesarkan ketiga anaknya seorang diri hanyalah berprofesi sebagai buruh tani. Penghasilannya sebagai buruh tani jelas tak menentu lantaran pekerjaan ini bergantung pada musim tanam saja. Ditambah, ibunya sempat terkena serangan stroke ringan dan diabetes yang berakibat pada terganggunya aktivitas bekerjanya.

Cikalong adalah kecamatan terujung bagian selatan Kabupaten Tasikmalaya. Ia berbatasan langsung dengan Kabupaten Pangandaran dan laut selatan di Samudra Hindia. Dari pusat kota, jarak ke Kecamatan Cikalong sekitar 90 kilometer.

“Akses ke kota sangat jauh. Akses untuk pendidikan juga sangat minim, karena satu kecamatan itu sangat luas sekali. Sedangkan untuk jumlah SMA saja di kecamatan Cikalong itu yang negeri hanya satu” ungkap Anas menjelaskan kondisi di daerah asalnya.

Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat Cikalong rata-rata bekerja sebagai buruh tani yang hanya bergantung pada musim. Ada pula yang bekerja sebagai pembuat gula merah, dan sisanya merantau ke kota sebagai pembantu, tukang jahit, dan menjadi buruh migran di luar negeri.

Bertumbuh Berkembang di Jalan Terjal

Sadar betul akan kondisi yang sulit dari keluarga prasejahtera, muncul tekad Anas di usianya yang tergolong belia ini untuk bertarung dengan kesulitan yang ada. Kala itu dalam benaknya adalah ingin terus melanjutkan pendidikannya. 

Pemikiran seperti itu bukanlah hal yang sederhana dan lazim. Ia harus menentang cara berpikir dominan di lingkungannya, bahwa bila tak memiliki cukup uang, maka pilihannya adalah merantau untuk bekerja mendapatkan uang yang cukup.

Kabupaten Tasikmalaya sendiri masih memiliki pekerjaan rumah dalam mengurangi angka putus sekolah. Pada 2021 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) setempat mencatat bahwa penduduk usia 7 sampai 24 tahun yang tidak sekolah berada di angka 27,23 persen.

“Pada saat itu semangat saya tidak berhenti, malah semakin tumbuh. Saya meminta bantuan kepada tetangga yang memiliki saudara yang bekerja di Panti Asuhan Al-Rasyid Subang. Saya minta untuk diizinkan untuk tinggal di Panti Asuhan Al-Rasyid Subang.” ujar Anas saat ditemui secara daring.

Ingat betul pada Juli 2009, Anas akhirnya nekat berangkat ke Panti Asuhan Al-Rasyid Subang bermodal 100 ribu rupiah saja sisa dari bantuan pemerintah untuk keluarga miskin. Ia kemudian menghabiskan masa kecil hingga remajanya di panti asuhan.

Buku-buku motivasi, novel dilahap Anas sebagai bahan bakar menjaga asa ingin mengubah nasib kelak. Setidaknya ini telah dibuktikan oleh Anas dengan selalu masuk di peringkat tiga besar selama bersekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). 

Kendala sempat muncul saat Anas harus pulang ke Tasikmalaya dan terpaksa keluar dari panti asuhan. Sebabnya, tuntutan untuk membantu ekonomi keluarga saat itu sudah mendesak. Anas melakoni peran sebagai buruh konveksi.

Namun, baru dua minggu di rumah, hatinya memberontak. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah masih terlampaui besar. Motivasinya adalah ingin bisa mengangkat derajat keluarga, dan Anas yakin itu semua bisa diwujudkan melalui jalur pendidikan.

Jalan keluar pun digali dengan mencari panti asuhan baru yang menyediakan fasilitas sekolah gratis dan menemukannya di Panti Asuhan Darul Inayah di Kabupaten Bandung Barat.

Di panti asuhan berbasis pondok pesantren itu, Anas telah bertekad untuk melanjutkan studi hingga perguruan tinggi. Impiannya pada tahun 2015 kala itu adalah bisa berkuliah di Universitas Gadjah Mada dengan beasiswa Bidikmisi. 

Prestasinya mempertahankan juara pertama atau kedua selama di Sekolah Menengah Atas (SMA) akhirnya menjadi modal berharga untuk mendaftar kampus melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Ia diterima di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran.

Anas ingat dari 22 orang pendaftar SBMPTN di panti asuhan tersebut, hanya dirinya yang kemudian lolos diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Ia juga membawa kedua adiknya untuk tinggal di Panti Asuhan Riadlul Jannah, Jatinangor.

“Saat kuliah di Unpad, saya di sana bertekad pada diri. Saya menyadari sebagai minoritas, mungkin hanya saya satu-satunya di Unpad ini yang merupakan anak  panti asuhan. Sehingga saya juga harus bisa membuktikan, yaitu menjadi minoritas juga, artinya menjadi mahasiswa yang berprestasi.” tutur Anas.

Minat Besar Studi Sejarah 

Keputusan Anas mengambil jurusan sejarah mungkin menimbulkan pertanyaan bagi sebagian besar orang. Bahkan sempat mendapat pertentangan dari orang-orang di panti asuhan. Rumpun ilmu humaniora dengan spesifikasi sejarah jelas kurang populer dibanding jurusan lain yang identik menjanjikan kesuksesan di masa depan.

“Saat itu, ketika saya di panti asuhan sempat mendapatkan pertentangan. Karena jurusan sejarah adalah jurusan yang kategorinya minat khusus, non-favorit. Bahkan untuk pekerjaannya pun tidak sebanyak jurusan seperti Ilmu Hukum, ataupun Ekonomi dan Psikologi.” ujarnya. 

Namun, minat menekuni suatu bidang ilmu tak selalu bisa mengikuti tren populer. Anas juga tak sedang main aman dengan mengambil jurusan sejarah agar lebih mudah masuk ke kampus negeri. Ia mengaku telah menyukai pelajaran sejarah sejak duduk di bangku SMP. 

Saat di bangku kelas 10 Madrasah Aliyah atau setara SMA ia semakin mendalami pembacaan sejarah saat bertemu dengan buku karya Kuntowijoyo, guru besar Ilmu Sejarah di UGM cum budayawan yang tak asing lagi bagi para penggiat keilmuan sejarah. Dari situlah Anas semakin tenggelam untuk melahap buku-buku sejarah, mengetahui suatu peristiwa dan perjalanan tokoh.

Anas menamatkan sarjananya dengan merampungkan skripsi berjudul “Politik Hukum Pemerintah Indonesia tentang Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia Tahun 1984-1989”. Ia menyoroti tentang pemberlakuan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada 1984 ke Malaysia. Di era Orde Baru tersebut, target pemerintah yang masuk dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mengirimkan tenaga kerja sebesar-besarnya ternyata tak sebanding dengan kelayakan yang didapat di lapangan.

“Kala itu negara cenderung memanfaatkannya, tapi minim perlindungan terhadap mereka (buruh migran). Mereka rawan mengalami penyalahgunaan atau dimanfaatkan oleh perusahaan maupun oknum pemberi kerja ketika di Malaysia. Bahkan dalam proses sebagai korban seringkali telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia” tutur Anas.

Ketertarikan Anas pada topik buruh migran juga didasari oleh daerah asalnya. Di Tasikmalaya, banyak warga yang bekerja sebagai buruh. Mulai dari buruh tani seperti ibunya, buruh yang merantau di kota besar, dan buruh migran. Mereka yang memilih menjadi TKI rata-rata didominasi perempuan. Banyak perempuan yang menjadi ibu meninggalkan anaknya dan akhirnya cenderung terlantar dalam kubangan kemiskinan dan rendahnya literasi pengetahuan.

Anak sulung dari tiga bersaudara ini juga hampir ditinggal ibunya menjadi TKI saat ia masih di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Untungnya, hal itu tak terjadi karena ibunya belum tega meninggalkan Anas dan dua adiknya yang masih kecil. Ditambah, ia punya sahabat yang ditinggal ibunya bekerja di Arab Saudi. Kehidupannya menjadi tidak terurus; sekolah tidak pernah belajar, tidak mendapat pengasuhan yang layak, hingga kiriman uang yang tak kunjung memakmurkan.

Tantangan dan perjuangan terus mengiringi jejak langkah seorang Anas. Saat sedang mengikuti perlombaan, mengerjakan skripsi, membantu adik-adiknya dan berbagai pikiran lainnya, ia diserang penyakit Bell’s Palsy pada tahun 2018. 

“Imun saya turun dan akhirnya saya mengalami kelumpuhan di bagian wajah sebelah kiri saraf nomor tujuh” ujar Anas. Praktis, ia harus berobat dan tentunya membutuhkan biaya. Untuk menambah biaya pengobatan, Anas melakoni pekerjaan sampingan sebagai tukang bersih-bersih rumah kos dengan upah Rp25.000 per kamar.

Akibat harus membagi waktu dengan bekerja untuk berobat inilah membuat proses kelulusannya menjadi molor dan tak sesuai target semula terencana tepat delapan semester. Mau tak mau agar tak berlarut ia mengakhiri pekerjaan sampingannya itu agar bisa fokus melanjutkan skripsi dan lulus.

Melanjutkan S2 dengan Beasiswa Prasejahtera dari LPDP

Selepas lulus sarjana, Anas sempat melakukan pengabdian ke panti asuhan yang telah menampungnya dan turut membiayai kehidupannya itu. Kegiatannya adalah mengajar di Madrasah Aliyah menjadi guru pelajaran sejarah dan sejarah kebudayaan Islam serta turut memobilisasi untuk berbagai kegiatan di panti asuhan selama Juli 2020 hingga Desember 2021 atau di masa pandemi Covid-19 itu.

Di tahun-tahun setelahnya, Anas mencoba peruntungannya untuk mendaftar beasiswa LPDP. Bukan hal yang tiba-tiba, sebenarnya sedari 2017 Anas sudah mengincar untuk dapat melanjutkan kuliahnya. Lalu pada 2022, Anas dengan dibantu orang-orang baik di sekitarnya memberanikan diri untuk mendaftar. Walaupun track record prestasinya tak diragukan, Anas sadar dia memiliki kekurangan khususnya di Bahasa Inggris.

Anas akhirnya diterima di Universitas Indonesia melalui program Beasiswa Prasejahtera dari LPDP yang sengaja dipilihnya. Minatnya meneruskan studi sejarah lantaran ingin menjadi sejarawan di bidang politik Islam, migrasi, dan ketenagakerjaan. Di mana itu adalah subjek-subjek yang lekat dengan kehidupannya.

Kini penelitian tesis yang sedang dikerjakannya adalah sejarah politik Islam dengan subjek gerakan Darul Islam. Ia tertarik dengan topik ini karena gerakannya yang memiliki akar dari peristiwa masa lalu baik lokal dan global, serta dampaknya yang paling ekstrim terhadap aksi-aksi teror di tanah air.

Di bawah bimbingan Dr. Abdurakhman, M.Hum., dan Prof. Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S. itu, Anas mengkaji posisi para ajengan atau kiai di masa pergerakan DI/TII di Jawa Barat kurun waktu 1949 sampai 1962. Kala itu para ajengan menghadapi dilema posisi, antara diminta bergabung ke gerakan DI/TII untuk memberikan masukan terkait penegakan hukum Islam, namun takut ditangkap oleh Tentara Republik Indonesia karena dianggap memberontak.

“Pada prosesnya, ajengan ini terbagi-bagi, ada ajengan yang pada akhirnya mereka pro mendukung gerakan DI/TII, ada ajengan yang tidak mendukung. Dia lebih bergabung dengan tentara, dengan pemerintah Indonesia. Ada juga yang netral, dia memilih bersembunyi, tidak ke DI/TII juga tidak ke pemerintah Indonesia” tutur pria yang bercita-cita ingin melanjutkan studi S2 kembali di bidang politik di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini.

Pesan Anas untuk Anak Prasejahtera

Anas sadar betul bahwa perjalanan hidupnya masih panjang dan memerlukan banyak peluh perjuangan keras lagi. Namun dari apa yang sudah ia capai saat ini, ia ingin berpesan kepada anak-anak, para muda-mudi dengan latar belakang yang sama, bahwa penting sekali dalam hidup ini untuk mempunyai impian. Penting sekali untuk mengejarnya dengan pendidikan karena akan mempengaruhi cara berpikir, cara pandang, dan memperluas peluang berkompetisi untuk mendapat pekerjaan yang layak.

“Jangan meremehkan atau merendahkan atau bahkan tidak yakin terhadap impian. Karena sejatinya impian itu adalah sahabat yang akan selalu menguatkan, akan selalu memotivasi untuk disiplin, untuk tekun, dan untuk berjuang sungguh-sungguh hingga impian tersebut menjadi kenyataan” kata alumni PK-197 Acitya Syandana ini.

Mimpi dan tekad anak-anak prasejahtera kini makin terang saat negara hadir memberikan beasiswa pendidikan tinggi untuk meningkatkan sumber daya manusia anak bangsa. Manfaat kelolaan #UangKita untuk pendidikan yang inklusif dapat dirasakan manfaatnya sampai ke kalangan terbawah melalui program Beasiswa Prasejahtera dari LPDP.

“Saya mengucapkan terima kasih kepada Beasiswa LPDP. Karena ini sudah menjadi jalan bagi saya sebagai salah satu putra bangsa yang walaupun dari keluarga prasejahtera, saya tetap bisa mewujudkan impian saya studi S2. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan seluruh jajaran LPDP” tutup Anas dengan syukur.