Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011
Boymaira Suat Pasai saat diwawancarai di sela-sela kegiatan Persiapan Keberangkatan

Awardeestory | 29-03-2024

Boymaira Suat Pasai, Anak Pulau Buru yang Ingin Pulang ke Kampung Halaman Dirikan Lembaga Bantuan Hukum

Penulis
Tony Firman

Fotografer
Dok. Tony Firman

Naik pitam, membawa senjata, berkelahi, hingga tak jarang berakhir kematian yang sia-sia, itulah yang acap kali terjadi pada sejumlah masyarakat adat di Pulau Buru. Belum lagi perseteruan tambang emas antar warga dan kasus jual beli tanah yang semrawut membuat gesekan antar warga berlangsung begitu saja.

Pulau Buru yang memiliki bentang alam pegunungan dan lautan yang indah ini telah menjadi daya tarik sejumlah perantau dari penjuru Nusantara. Anda bisa menemui orang Sumatera, Jawa, Sulawesi, Ternate, Kei, dan lainnya yang hidup berdampingan dalam dinamika pasang surut hubungan dan pergumulan ekonomi.

Di pulau seluas 12,6 kilometer persegi ini dihuni oleh sekitar 142.304 jiwa. Secara jumlah dan tingkat keramaian memang relatif lebih sepi ketimbang Provinsi Maluku (1.945.648 jiwa) atau Kota Ambon (362.639 jiwa). 

Ratu Boi Maira Suat Pasai atau Boymaira Suat Pasai adalah pemuda yang tumbuh besar di Kabupaten Buru Selatan, Pulau Buru, Maluku. Jarak rumah dengan pantai hanya satu lemparan batu saja, tepatnya berada dekat sekali dengan Pantai Desa Waeteba. 

Sama dengan muda mudi Pulau Buru pada umumnya, Boy akrab ia disapa, lahir dari keluarga sederhana dengan orang tua yang berprofesi sebagai petani. Pria kelahiran 1998 silam ini turut mengalami dan merefleksikan dinamika pasang surut kehidupan di sana. 

Memang, ada banyak faktor kompleks ketika membicarakan latar belakang gesekan dan pertikaian warga di sana. Salah satu yang disoroti Boy adalah karena rendahnya pendidikan dan pengetahuan di kampung halamannya.

Inilah yang turut mendorong Boy untuk merajut mimpi mengakses pendidikan tertinggi. Tak cukup sekedar lulus SMA dan sarjana saja, perjalanan pendidikannya berlanjut ke jenjang magister dengan beasiswa LPDP.

"Kenapa saya sampai keluar dari kampung, karena persoalan fasilitas pendidikan tidak memadahi. Kedua, lingkungan yang tidak mendukung karena pemahaman antropologi masyarakat. Kalau ketika sudah punya harta seperti rempah-rempah kopra, cengkeh, kelapa, mungkin sebatas SMP atau SMA saja cukup" ujar Boy. 

Anak Petani di Daerah Afirmasi

Leluhur Boy berasal dari Kepulauan Kei, Maluku. Orang tuanya kemudian hijrah ke Pulau Buru untuk mencari kehidupan di sana dan menjadi petani dengan menanam pohon cengkeh, pala, dan kopra. Di sinilah akhirnya Boy terlahir dan menghabiskan sebagian besar waktunya di Kabupaten Buru Selatan.

Kehidupan ekonomi masyarakat Pulau Buru bergantung pada hasil laut dan pertanian di darat. Sebagai gambaran untuk komoditas kopra per kilonya dihargai tiga ribu rupiah saja. Sekali panen biasanya terjual sampai satu ton sehingga menghasilkan pendapatan sebesar tiga juta rupiah.

Namun selama setahun hanya ada dua kali panen. Jaraknya bisa antara enam hingga 10 bulan sekali per panen. Apabila di total dengan asumsi per panen satu ton, maka hanya terkumpul uang panen sebesar Rp. 6.000.000 saja selama satu tahun. Penghasilan seperti itu tentu saja tak cukup untuk menghidupi keluarga dengan rata-rata memiliki tiga sampai lima anak di rumah.

Dengan kondisi seperti itu juga tak heran apabila rata-rata pendidikan masyarakat di sana hanyalah tamatan SMP atau SMA. Pendidikan tinggi masih jauh dari asa lantaran berat di ongkos.

“Mungkin psikologi mereka ketika mereka melanjutkan sampai tingkat kuliah itu menjadi penghambat di ekonomi (keluarga) mereka” kata Boy.

Akar struktural inilah yang membuat pendidikan tidak menjadi prioritas utama untuk dikejar. Bahkan keengganan bersekolah tinggi juga dimiliki oleh orang-orang yang notabene memiliki cukup kekayaan seperti para pemilik kebun. Mereka berpikir bahwa lulus sekolah belum tentu mendapat pekerjaan yang layak.

Maka menjadi suatu keberkahan ketika keluarga Boy punya kesadaran dengan menginginkan anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi. Dari kelima saudara, tiga orang telah tamat sarjana termasuk Boy.

Jalan Terjal Mengakses Pendidikan di Wilayah Kepulauan

Maluku adalah wilayah kepulauan yang akses dari satu pulau ke pulau lainnya membutuhkan transportasi laut atau udara. Sekolah dan universitas yang bagus masih berada di pulau lainnya.

Meski masih di wilayah Maluku, perjalanan Boy cukup berliku untuk bisa mencapai Pulau Ambon tempatnya menempuh pendidikan. 

Dari kampungnya, ia terlebih dahulu menuju Kota Namrole dan melanjutkan ke Kota Ambon menggunakan kapal feri dalam waktu tempuh tujuh sampai delapan jam. Jika menggunakan pesawat maka hanya butuh 25 menit saja, namun tentu harganya lebih mahal. Saat masih menempuh S1 di Unpatti Ambon, harga pesawat kala itu untuk sekali terbang sekitar 500 ribu rupiah. Saat ini kabarnya telah menyentuh angka satu juta rupiah. Sementara apabila naik kapal laut dihargai sekitar 200 ribu rupiah saja.

Boy merampungkan jenjang SMA sampai lulus sarjana Ilmu Hukum Universitas Pattimura pada 2022 di Ambon. Hanya butuh 3 tahun 8 bulan untuk Boy mendapatkan gelar Sarjana Hukum. 

Dukungan dari rekan, saudara, dan keluarga membuat Boy terus termotivasi untuk melanjutkan studi S2. Pilihannya jatuh ke Magister Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada. Alasan Boy memilih UGM karena tertarik dengan dosen-dosen hukum yang menurutnya berkompeten dan memiliki kualitas bagus. 

“Oleh karena itu saya memutuskan untuk memilih UGM sebagai kampus utama. Dan keinginan untuk mendapatkan ilmu lebih banyak lagi seputaran ilmu hukum pidana” jelas Boy.

LPDP sendiri secara khusus memiliki program Beasiswa Daerah Afirmasi, sebuah jalur beasiswa khusus yang diperuntukan untuk putra-putri yang berasal dari daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Pulau Buru tempat asal Boy adalah salah satu daerah yang masuk dalam program ini. 

Ia mengaku pertama kali mendapat informasi terkait adanya beasiswa LPDP dari kakak  kandungnya di tahun 2021. Ketertarikannya kemudian juga mendapat dukungan dari senior dan rekan-rekannya di kampus. 

Sampai pada akhirnya ia mencoba seleksi beasiswa LPDP di tahun 2023 melalui program Beasiswa Daerah Afirmasi dan lolos dalam sekali percobaan tersebut. Sedangkan surat diterima sebagai mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM juga sudah di tangan.

Asa Kembali ke Kampung Halaman, Memberikan Bantuan Hukum

Boy memang baru akan memulai studi Magister Ilmu Hukum pada pertengahan tahun nanti. Namun ia telah berkeinginan untuk bisa kembali ke kampung halaman dan mengabdikan ilmunya untuk memberikan bantuan hukum pro bono.

Penelitian skripsi sarjananya mengangkat permasalahan penyalahgunaan senjata tajam di kalangan masyarakat adat di Buru Selatan. Para masyarakat adat ini memiliki kebiasaan membawa senjata tajam ketika berpergian di lingkungan mereka, di tempat umum, maupun di perkotaan. 

Ini cukup mencolok apabila dibanding orang-orang Buru di perkotaan yang tidak membawa senjata tajam saat bepergian. Dengan membawa senjata tajam kemana-mana inilah yang menjadikan rawan disalahgunakan dan dapat memantik pertikaian berdarah.

Belum lagi permasalahan lainnya yang berkaitan dengan hukum seperti konflik tanah dan tambang. Sengkarut inilah yang meninggalkan ruang kosong ketidaktahuan hukum dan biaya perkara yang mahal. 

Sebagai anak hukum yang menyaksikan latar belakang kondisi di daerahnya, Boy ingin mendirikan sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pasca menyelesaikan studi S2 kelak.

“Kehidupan masyarakat di sana itu mereka tidak memahami ketika ada permasalahan. Mereka berpikir ketika ke pengacara maka membutuhkan biaya yang yang begitu banyak. Agar mereka sadar ternyata LBH itu membantu mereka dalam segala bentuk masalah” harap Boy.

Dengan kehadiran LBH, warga menjadi mengerti konsekuensi hukum dari segala perbuatannya dan berimbas pada ketertiban serta dapat meringankan beban rakyat saat harus berurusan dengan hukum.

Selain itu dengan pencapaian Boy yang mau berkuliah hingga jenjang S2 menggunakan beasiswa LPDP ini dapat memantik generasi muda di Pulau Buru dan sekitarnya untuk terus mengejar pendidikan tertinggi. Terlebih negara sedang hadir memberikan kesempatan studi S2 dan S3 di dalam dan luar negeri.

“Karena dengan adanya pendidikan maka saya yakin wilayah saya akan maju” menutup cerita pemuda dari pulau yang pernah menjadi kamp pembuangan lawan politik di rezim Orde Baru itu.

Dirinya yakin daerahnya akan semakin bersinar dengan sumber daya manusia yang terus bergerak maju melalui pendidikan