Gedung Danadyaksa Cikini, Jl. Cikini Raya No.91A-D, Menteng, Jakarta Pusat
Call Center 134, +62-21-23507011
Kevin Lijaya Lukman saat menerima MSc Curry Award
Awardeestory

Mental Juara Kevin Lijaya Lukman, Dari Gagal IELTS Tiga Kali Hingga Tesis Terbaik Se-Inggris Raya

Penulis
Tony Firman
Rabu,
28 Mei 2025

Malam itu di bulan Januari 2023, Purwakarta diguyur hujan deras. Di antara suara rintik dan riuh pikiran yang tak henti-henti, Kevin Lijaya Lukman duduk tertunduk lesu. Sudah kali ketiga ia gagal mendapat skor IELTS minimum.

“Kayaknya itu kesedihan saya terdengar ke langit, jadi hujan juga itu” tuturnya mengingat.

Hampir setiap malam sepulang bekerja, Kevin selalu menyempatkan diri untuk belajar hingga larut. Menyisihkan waktu di tengah kesibukannya di proyek pengembangan pabrik pengolahan nikel juga bukan pekerjaan mudah.

“Saya mulai belajar Juli 2022, tes pertama September gagal, Desember gagal lagi, Januari 2023 masih gagal. Baru Februari, tepat tiga hari sebelum deadline LPDP, saya lolos skor IELTS. Gagal tiga kali, setiap kali cuma kurang 0,5. Rasanya pahit banget,” kenang Kevin.

Sejak awal, perjalanan hidupnya selalu tentang pembuktian. Target menembus kampus top dunia dengan beasiswa LPDP harus dikejar. Bahkan teman mentornya sudah menyarankannya untuk lempar handuk, menyarankan untuk mengambil kesempatan pendidikan lain yang tak kalah bagus.

Kevin adalah alumni beasiswa LPDP di Imperial College London jurusan Metals and Energy Finance MSc yang lulus pada 2024 kemarin. Dari gagal IELTS tiga kali, lulus dengan predikat distinction, tawaran kerja di luar negeri, hingga terbaru mendapat Curry MSc Prize.

Inilah cerita perjalanan Kevin.

Mimpi Besar dari Bandung

Kevin tumbuh dengan minim kemewahan. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara yang lahir dan besar di Bandung di keluarga dengan ekonomi menengah yang menjunjung tinggi pendidikan meski kedua orang tuanya hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Orang tuanya selalu menanamkan nilai bahwa bersekolah harus setinggi-tingginya. Mereka tidak memaksakan pilihan karier, melainkan mendukung minat dan passion anak-anaknya. Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Santo Aloysius Bandung, Kevin telah menunjukkan kecerdasan dan prestasinya dengan selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah. Juara nasional olimpiade kimia dan karya ilmiah didapat termasuk memenangkan kompetisi tingkat nasional yang diadakan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dengan torehan prestasi tersebut wajar bila merasa yakin diterima lewat jalur undangan ke ITB. Takdir berkata lain. Ia tersisih dan harus bertarung di jalur tes tulis dengan persiapan hanya dua minggu. Kevin percaya bahwa doa tanpa usaha adalah sia-sia. Meskipun soal tes sangat sulit, dan banyak yang pesimis karena kursi yang terbatas dan persaingan ribuan pendaftar

Di situlah Kevin menunjukkan kelasnya. Ia membayar tuntas tantangan tersebut dengan lolos seleksi masuk jurusan Metalurgi di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) ITB tahun 2016, sebuah jurusan bergengsi dengan persaingan ketat.

Beban biaya kuliah yang mencapai Rp 10 juta per semester, yang berarti Rp 80 juta untuk delapan semester terasa berat bagi Kevin dan keluarga. Tidak mau membebani orang tuanya, ia mengajukan lamaran dan berbagai syarat yang diminta untuk bisa mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbudristek kala itu dan akhirnya berhasil.

Kevin pun keluar sebagai mahasiswa pertama yang lulus cumlaude dalam waktu 3,5 tahun, tercepat dari 343 mahasiswa angkatannya. Gelar itu bukan datang begitu saja. Ia aktif di himpunan, memimpin berbagai proyek, dan tetap menjaga indeks prestasi akademik yang nyaris sempurna.

Gagal di Tambang, Pindah ke Laboratorium

Awalnya Kevin diterima di perusahaan tambang tak lama setelah lulus tahun 2020. Namun COVID-19 membuyarkan karier perdananya itu. Berkat rekomendasi pembimbing skripsinya, Kevin direkomendasikan untuk bekerja di Salim Group dan diterima. Sempat kaget dengan penempatan kerja di Kalimantan dengan ritme delapan minggu kerja di hutan dan dua minggu libur. Ternyata, penempatan Kevin bukan di Kalimantan, melainkan di Purwakarta.

Di PT Indo Mineral Research Purwakarta, Kevin bekerja di bagian riset dan dipercaya untuk membangun tim riset sendiri, bahkan ketika laboratoriumnya belum memiliki bangunan. Ia mengevaluasi pekerjaan laboratorium untuk prekursor baterai mobil listrik, khususnya nikel sulfat heksahidrat.

Di sini, Kevin diberi amanah besar membangun laboratorium penelitian dari nol. Bukan pekerjaan mudah. Ia harus mengintegrasikan aspek teknis metalurgi, membangun tim, dan menavigasi urusan finansial, manajerial, hingga politik perusahaan.

"Awalnya saya kira ini hanya soal riset. Ternyata ini tentang leadership," ungkapnya.

Dunia kerja menuntut Kevin untuk belajar cepat dan berpikir strategis. Di tengah sibuknya mengembangkan laboratorium dan fasilitas pengolahan nikel untuk baterai mobil listrik, ia merasa ada lubang pengetahuan yang perlu ditambal. Ia butuh pemahaman yang lebih dalam, terutama di persimpangan antara metalurgi dan finansial industri. Maka ia memutuskan untuk melanjutkan studi S2 setelah tiga tahun berkarier di Salim Group.

Tiga Kali Gagal Mengejar Skor IELTS

Sejak mengetahui rekan kerjanya lulusan Imperial College London, sejak itulah mimpi Kevin menyala untuk mengikuti jejaknya. Saat itulah nama LPDP mulai terngiang di kepalanya. Ia sudah pernah mendapat beasiswa unggulan saat S1, dan tahu bahwa beasiswa adalah satu-satunya jalan jika ia ingin melangkah lebih jauh.

Dengan penuh kesadaran Kevin menempatkan beasiswa LPDP sebagai sebuah kontrak moral, bahwa ilmu yang diperoleh dari luar negeri harus kembali dalam bentuk kontribusi nyata bagi Indonesia.

“LPDP bukan hadiah. Ia tanggung jawab. Saya merasa, kalau saya mendapat kepercayaan dari negara, maka saya juga harus menyiapkan diri menjadi orang yang layak dipercaya.” tuturnya.

Persyaratan IELTS untuk studi di luar negeri minimal 6.5, atau 7. Bahasa Inggris menjadi tembok pertama yang harus ia dobrak, terutama kemampuan speaking yang masih kurang. Di tengah kesibukannya memimpin perencanaan pembangunan pabrik dan mendelegasikan tugas, ia membagi waktu untuk belajar bahasa Inggris setiap hari setelah pulang kerja, dari jam 5 sore hingga 11 malam.

Rincian kegagalannya menaklukkan IELTS dimulai pada bulan September 2022 karena kurang 0.5 poin dan kemudian kembali gagal di bulan Desember dengan skor yang malah menurun. Pada tes di bulan Januari 2023, ia kembali gagal dengan kurang 0.5 poin. Ia bahkan mencoba melakukan re-check ke IELTS Australia untuk rekaman speaking-nya, namun hasilnya tetap sama.

Dengan batas waktu pendaftaran LPDP di bulan Februari, Kevin harus kembali tes IELTS di awal Februari. Temannya yang sudah mendapatkan LPDP sempat menyarankannya untuk menyerah, mengatakan bahwa tidak semua orang sukses harus sekolah di Inggris. Kevin teringat kegigihan ilmuwan Thomas Alva Edison yang gagal seribu kali sebelum menemukan lampu, dan ia merasa kegagalannya baru tiga kali belum seberapa. Ia percaya pada kekuatan doa dan usaha, serta pentingnya bantuan orang lain. Akhirnya, pada tes keempat, nilainya sesuai persyaratan.

Kevin menceritakan perjalanan hidupnya secara detail saat seleksi wawancara LPDP, termasuk tantangan yang dihadapi di Salim Group tempatnya bekerja. Pewawancara sangat terinspirasi oleh ceritanya, terutama latar belakang keluarganya yang tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi namun menanamkan pentingnya pendidikan. Pewawancara bahkan mengatakan bahwa jika Kevin diterima, ia harus mengingat janjinya untuk membuat Indonesia lebih baik. Esai Kevin mengenai nikel pun ia terapkan dalam penelitiannya di Inggris, yang kemudian dihargai.

Kevin diterima di Imperial College London dan UCL dan memilih Imperial College yang saat itu merupakan universitas terbaik kelima di dunia. Ia mengambil program double degree yang berkolaborasi antara Royal School of Mines (bidang pertambangan) dan Imperial College Business School. Beban studinya berat, dengan 15 sub-modul ujian, jauh lebih banyak daripada program lain yang hanya memiliki tiga atau empat ujian.

Curry MSc Prize, Mengharumkan Diri, Kampus, dan Negeri

Dalam sebuah acara di London, Kevin bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia sempat bertanya mengenai kebijakan finansial di Indonesia, khususnya hilirisasi nikel dan investor asing hingga mendapat pesan yang membuatnya terngiang sekaligus terlecut.

“Jangan puas hanya karena dapat IPK 4. Itu bukan akhir.” ucap Sri Mulyani kepada Kevin.

Ia fokus pada risetnya yang beririsan dengan kondisi Indonesia, yaitu evaluasi dampak teknis dan finansial dari penelitian nikel. Risetnya menggabungkan model statistik yang inovatif, yaitu mean reverting model, yang belum pernah diterapkan sebelumnya dalam evaluasi tambang. Model ini memungkinkan simulasi ratusan ribu kali untuk menentukan kelayakan proyek, sebuah penemuan baru yang bisa diterapkan di seluruh dunia.

Kevin berhasil lulus dengan predikat distinction (cumlaude) di Imperial College London dan menjadi satu-satunya mahasiswa Indonesia di angkatannya yang mendapatkan penghargaan tersebut. Tesisnya yang dinilai sangat baik, tidak hanya dalam teknis tetapi juga analisis finansial, membuat namanya dikenal sebagai ahli yang langka di Indonesia.

Diakuinya, tawaran menggiurkan untuk bekerja di sana datang menghampiri. Namun sejak awal tekadnya adalah pulang. Loyalitas dan pengabdiannya untuk pekerjaannya masih lebih besar ketimbang iming-iming karier di luar negeri.

Kabar membanggakan datang lagi saat Kevin telah berada di Indonesia dan sedang sibuk di laboratorium. Tesisnya mendapat penghargaan Curry MSc Prize, sebuah penghargaan untuk tesis geologi paling berpengaruh di seluruh Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.

Untuk itulah Kevin datang menjemput penghargaan dengan rasa bangga yang besar. Ini adalah prestasi yang tak cuma menggembirakan diri, tetapi juga bagi Imperial College lantaran untuk kali pertama memenangkan penghargaan tersebut setelah terakhir kari hanya runner-up pada 2016 silam.

Profesor pembimbingnya bahkan kaget karena ia tidak mendaftarkan Kevin, melainkan penelitiannya dipilih sebagai yang terbaik dari semua program master di sekolah pertambangan. Penghargaan ini membuatnya mendapat keanggotaan gratis di organisasi geologi Inggris dan asosiasi material, pertambangan, dan metalurgi

Kini Kevin telah berkarya kembali di tanah air. Meneruskan proyeknya dengan segudang ilmu yang telah didapat dari Inggris. Perjalanan dari SMA, ITB, Imperial College, Curry MSc Prize itu hanyalahan pengisian titik-titik dari peta perjalanan yang masih panjang. Masih terhampar luas masa depannya yang meminta pembuktian lagi dari seorang Kevin Lijaya.

Hidupnya adalah tentang pembuktian, dan disitulah harapan selalu tumbuh.

Berita Terkait

Cerita Yasper Michael Mambrasar, Peneliti Papua Penemu Rhododendron mulyaniae

Awardeestory | 29-07-2025

Cerita Yasper Michael Mambrasar, Peneliti Papua Penemu Rhododendron mulyaniae

Membentuk Generasi Siap Kerja: Kiprah Acniah Damayanti di Career Development Center FISIPOL UGM

Awardeestory | 23-05-2025

Membentuk Generasi Siap Kerja: Kiprah Acniah Damayanti di Career Development Center FISIPOL UGM

Aishah Prastowo, Peneliti Lulusan S3 Oxford yang Pilih Jadi Guru SMA di Yogyakarta

Awardeestory | 29-04-2025

Aishah Prastowo, Peneliti Lulusan S3 Oxford yang Pilih Jadi Guru SMA di Yogyakarta