Nama Imam Santoso mungkin tak asing lagi bagi sebagian kita pengguna media sosial Instagram. Unggahan akun Instagram @santosoim sering viral dan berseliweran di feed yang berisi cerita orang-orang yang sedang berjuang dari bawah untuk bisa berkuliah. Banyak pula mengunggah kehidupan mahasiswanya di Institut Teknologi Bandung yang sedang dibantu olehnya. Pribadinya yang ekstrovert dan apa adanya membuatnya menjadi dosen viral.
Dosen Metalurgi ITB ini juga merupakan alumni penerima beasiswa LPDP. Pertengahan Juni lalu kami berkesempatan menyambangi kediaman Imam Santoso di Bandung. Di ujung jalan yang agak menanjak bukit dan melewati perkampungan, kami sampai di gapura besar komplek perumahannya. Sosok itu langsung menyambut kami dengan hangat, mempersilakan kami masuk ke rumahnya. Tampak beberapa anak muda mahasiswa ITB yang berada di rumah Imam. Persis sama seperti apa yang biasa ia tampilkan di media sosial.
Beberapa suguhan ringan diberikan dengan paksa kepada kami. “Lho, ada tidak ada kalian, Aku biasa begitu, banyak anak-anak nanti biar sekalian makan juga”, jelasnya untuk menenangkan kami. Seperti yang dilihat di kontennya, rumahnya memang selalu terbuka dan ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang sedang belajar, mengerjakan tugas, atau sekadar bersantai. Kepada LPDP ia bercerita panjang lebar terkait kehidupan, pendidikan, hingga karier menjadi dosen. Simak lengkapnya berikut ini.
Berlian Terbentuk dari Tekanan Luar Biasa
Ia memiliki gelar lengkap sebagai Dr. Imam Santoso, S.T., M.Phil., yang adalah ahli sekaligus pengajar di Prodi Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Rampung menamatkan S1 di prodi yang sama (2003-2007), ia melanjutkan studi S2 nya di School of Chemical Engineering, University of Queensland, Australia (2011-2013), dan menamatkan studi S3 di School of Chemical Technology, Aalto University, Finlandia (2014-2019).
Imam lahir dari keluarga petani di Ambulu, daerah rural yang bisa dibilang lumayan pelosok di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas. Sejak TK, Imam sudah ditinggal wafat ibunya, ayahnya kemudian menikah lagi, sedangkan Imam harus menghabiskan masa kecil hingga dewasa dalam asuhan neneknya yang berprofesi sebagai buruh tani. Tak hanya mengasuh Imam, penghasilan sang nenek sebagai buruh tani juga harus dibagi untuk mencukupi kebutuhan adik-adik ibunya yang juga masih usia remaja.
“Ya rumahnya dari bambu yang hampir roboh, lantainya tanah, kalau hujan badai itu sering goyang-goyang kayak mau ambruk gitu, ada tikusnya, ya begitulah pokoknya. Tapi Alhamdulillah happy walaupun hidupnya seperti itu, sama keluarga selalu diajarkan untuk bersyukur, tapi ingat sekolah tinggi”, kenangnya menceritakan masa-masa kecil dalam kehidupan penuh kesederhanaan bersama keluarga.
Perjodohannya dengan metalurgi tak terjadi serta merta, awalnya Imam ingin menjadi dokter. Berkaca dari kematian ibu dan beberapa anggota keluarga yang sakit tanpa pernah mendapat pengobatan yang layak, memotivasi Imam untuk melanjutkan studi Kedokteran selepas SMA. FK UNAIR dibidik menjadi tujuan, namun takdir berkata lain, Imam tak diterima.
“Aku juga pernah gagal juga, pernah down juga. Aku dulu bahkan diungsikan ke Trenggalek juga di rumah pamanku, gak keterima jadi dokter kan setahun tuh, ngapain kalau di desa kan jadi omongan tetangga isin Imam pengen jadi dokter gak lolos. Akhirnya yang udah diungsikan aja lah biar tenang, sambil jualan kaca, jualan paku di Trenggalek uangnya dikumpulin buat daftar beli formulir SPMB lagi”, kisahnya mengenang masa-masa gagalnya.
Jawaban Tuhan hadir dari arah yang tak disangka-sangka. Semangat untuk kuliah kembali membara kala Imam mengunjungi tetangganya yang berprofesi sebagai seorang satpam perusahaan tambang. Rumahnya bagus, kehidupannya bisa dibilang cukup, logikanya kemudian berpikir, kalau satpamnya saja bisa sejahtera, apa lagi pegawainya, apa lagi pejabatnya. Pikiran tersebut akhirnya membawa kesimpulan, Imam harus kuliah di bidang pertambangan, ITB sebagai perguruan tinggi terbaik di bidang tersebut ia bidik dan berhasil.
Lulus dari ITB, Imam merasa terpanggil untuk menjadi pendidik, ia ingin menjadi dosen. Cita-citanya berada di persimpangan jalan, menjadi dosen artinya ia harus studi lanjut dan tidak bekerja, sedangkan nafkah keluarga tak bisa ditunda. Memutar otak, Imam akhirnya bertemu dengan sebuah perusahaan asing yang bersedia menyekolahkannya ke Australia dengan jaminan uang saku selama studi dan kesempatan karier, tahun 2009 Imam berangkat ke Adelaide, University of South Australia.
“Jadi aku nyari waktu itu sekolah yang ada uangnya, akhirnya aku disekolahkan oleh perusahaan asing waktu itu, tahun 2009 aku berangkat ke Australia. Tapi di tengah jalan bangkrut perusahaannya, bayangin aku sudah di Australia, belum selesai, masih persiapan bahasa gitu, pulang tanpa gelar”, kenang pengalaman pahit yang seolah-seolah akrab mengiringi perjalanan hidup Imam.
Meski pulang tanpa gelar, Imam kembali teringat didikan keluarga, bahwa tetap syukur dan berprasangka baik terhadap takdir adalah jalan keluar dari kekecewaan. Kembali bangkit, Imam mendaftar Beasiswa Australia Awards, usahanya tersebut kembali membawanya ke Australia, kuliah di kampus yang relatif lebih bagus dari segi kualitas yaitu University of Queensland dan jurusan metalurgi yang jadi topik kegemarannya.
“Ya mungkin Allah ingin aku di UQ, sesuai dengan yang aku sukai. Kalau di Adelaide, karena waktu itu dari industri, si industri ini punya topik sendiri yang waktu itu agak setengah hati aku sebenarnya, akhirnya ini (metalurgi di UQ) yang pas banget dengan passion, jadi oh mungkin ini ya hikmahnya”.
Jalan Mulus Menuju Doktor
Lulus dari UQ, Imam sadar betul bahwa dirinya harus segera S3 guna mendukung cita-citanya sebagai pengajar. Pada tahun 2014, saat informasi mengenai LPDP belum semasif saat ini, Imam mendaftarkan diri, tujuan studinya pun kini lebih jauh, sebuah perguruan tinggi dengan profesor yang masyhur di bidang metalurgi, Aalto University di negeri seribu danau, Finlandia.
“Dulu ketika di Australia itu (menulis status) masih ada di facebook, ya Allah aku ingin lihat aurora, ya Allah aku ingin lihat salju, aku ingin ke kutub utara, dan kebetulan ketika di Australia ada mahasiswa (percobaan) dari Finlandia, kemudian eh aku dikenalin lah oleh profesor di sana. Dan memang waktu itu aku mencari metalurgi yang bagus di mana setelah dari UQ, yang bagus tuh Aalto. Semuanya kayak gak tau lah mestakung (semesta mendukung) gitu ya”.
Menuliskan mimpi memang terdengar remeh, namun hal itulah yang kemudian membawa alam bawah sadar menggerakkan motivasi menjadi aksi. Setengah tertawa, Imam juga menceritakan bahwa dirinya sering menyarankan anak didiknya untuk menempel dinding kamar dengan gambar-gambar seperti Menara Eiffel atau daftar target/cita-cita yang ingin dicapai di masa depan, “dan itu betul Mas, ada beberapa anak yang betul-betul karena dia sampai kayak gitu, betul-betul tercapai”, ungkap alumni PK-20 ini.
Tidak Mau Sukses Sendiri
Sadar bahwa hidupnya berubah drastis karena pendidikan, Imam tergerak untuk menebar semangat yang sama, bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang hidup dalam situasi underprivileged baik dalam akses informasi maupun motivasi untuk maju, dan Imam bergerak mengisi gap itu. Sejak masih S1, Imam sering “blusukan” ke sekolah-sekolah pelosok memberikan informasi bahwa ada kesempatan bagi anak-anak yang ingin berkuliah dengan Beasiswa Bidikmisi. Sambil tersenyum mengingat kenangan, Imam mengungkap bahwa kegiatan “jemput bola” tersebut ternyata menarik perhatian para pewawancara saat ia melakukan seleksi LPDP sepuluh tahun lalu, “mungkin dia (blusukan) yang membuat aku diterima”.
Sukses berkarier sebagai dosen ITB, tak kemudian membuatnya berhenti, aktivitas “jemput bola” menjaring talenta-talenta dari keluarga kurang mampu justru semakin masif, bahkan difasilitasi pula oleh ITB. Dalam setahun, Imam mengaku rutin mengalokasikan waktu dan mengajak rekan-rekan sesama dosen untuk “roadshow” di berbagai daerah hingga di luar Jawa menyebarkan informasi, inspirasi, dan dampak yang lebih besar kepada anak-anak SMA untuk berkuliah.
Keberadaan teknologi seperti media sosial juga ia manfaatkan untuk berbagi inspirasi. Hingga saat tulisan ini dibuat, akun media sosial instagram Imam @santosoim telah diikuti setidaknya 400 ribu pengikut, jumlah yang tentu luar biasa besar. Kepiawaiannya meramu konten yang sederhana, jujur, tema yang relatable dengan kehidupan anak muda, dan penuh dengan pesan-pesan inspiratif yang dibagikannya membuatnya begitu populer tak hanya di kalangan anak-anak muda, namun juga ibu-ibu yang menginginkan anaknya kuliah, ia tenar dijuluki sebagai “Dosen Online-nya Ibu-ibu Indonesia”.
Motivasi berbagi yang begitu besar jugalah yang membuatnya sangat ringan membuka pintu rumah untuk banyak mahasiswa yang keluar-masuk dengan berbagai aktivitasnya, seakan telah mewakafkan hunian pribadinya menjadi base camp yang nyaman untuk mahasiswa-mahasiswanya. “Ada yang bimbingan tugas akhir, ada yang sengaja healing-healing, ada yang sengaja cuma cari makan, biasalah anak kos (seperti) jaman dulu kan, modus-modus cari makan enggak apa-apa, senang-senang aja, silakan datang siapa saja yang mau kesini”, ungkap Imam sambil tertawa.
Mimpi dan Pesan Imam untuk Pemuda Indonesia
Sampai saat ini, belum ada hal selain pendidikan yang dinilai paling efektif dalam mengubah standar hidup manusia menjadi lebih baik, dan Imam Santoso adalah bukti nyatanya. Dedikasi dan komitmennya untuk selalu berbagi adalah murni, didasari atas empati sebagai orang yang pernah merasakan kesulitan hidup, dan berbagi adalah caranya untuk mensyukuri karunia Tuhan yang dititipkan kepadanya.
Beberapa wajah anak-anak muda yang kerap kali tayang di konten-konten media sosialnya hanyalah merepresentasikan secuil dari ribuan anak-anak muda lain yang secara langsung atau tak langsung mendulang manfaat dari bantuan dan dedikasi Imam. Dengan penuh harap, Imam memimpikan agar pendidikan bisa murah dan mudah diakses oleh seluas-luasnya masyarakat Indonesia, layaknya di negara-negara maju lainnya seperti Australia dan Finlandia yang pernah ia lihat langsung.
“Buat adik-adik atau siapapun kalian yang nasibnya belum beruntung secara ekonomi, ayo sekolah setinggi-tingginya, kini ada beasiswa (LPDP) bisa menjadi elevator hidup kalian, jadi semangat!”, tutup Imam.
Editor: Tony Firman