“Karena lagi rame soal kontribusi alumni LPDP, saya ingin ikut share kontribusi saya yang random. Saya alumni LPDP angkatan dinosaurus (PK-6), S3 Engineering Science di Oxford. Dulu waktu bikin esai/interview bilangnya mau jadi peneliti. Sepuluh tahun berlalu dan saya jadi... guru SMA.”
Begitulah penggalan cuitan seorang Aishah Prastowo di akun Thread miliknya pada November 2024 lalu. Unggahannya itu sempat viral dan mendapat beragam respon di lintas media sosial. Ada yang menggunjing ada pula yang mengapresiasi langkahnya sebagai bentuk konkret dari “napak tanah” ketika memutuskan menjadi pengajar SMA.
Memang, apa yang dilakukan Aishah tergolong langka. Syarat pendidikan minimal untuk menjadi guru SMA adalah D-IV atau S1. Sementara Aishah malah memilih menjadi guru sekaligus kepala sekolah Praxis High School dengan ijazah doktor dari kampus nomor wahid di dunia, University of Oxford di Inggris.
Praxis High School adalah sebuah SMA alternatif berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Art) yang terletak di Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Embel-embel S3 University of Oxford tak pelak menjadi daya pikat untuk meyakinkan para orang tua yang menyekolahkan putra-putrinya di sini.
Lokasi Praxis di desa Bimomartani tampak asri dengan konsep ruang terbuka dan masih dikelilingi persawahan. Saat kami mendatangi Praxis High School, suasananya lengang, hanya nampak keramaian dari para siswa Madrasah Technonatura yang memang berbagi tempat dengan SMA Praxis. Rupanya para murid baru mengikuti ajang bergengsi internasional dan menyabet gelar.
“Kemarin anak-anak habis dari Vietnam mengikuti kompetisi robotika internasional di FIRST Tech Challenge. Alhamdulillah dapat penghargaan Judges Choice Award” katanya bangga.
Inilah kisah perjalanan seorang Aishah Prastowo asal Yogyakarta. Sebagai salah satu penerima Beasiswa LPDP generasi pertama pada 2014 di Oxford, banyak dinamika perjalanan terjadi. Bahkan usianya masih sangat muda saat diterima di Oxford, baru 23 tahun. Kami menemuinya pada akhir Februari lalu untuk membincangkan perjalanan dan kiprahnya kini.
Mencintai Fisika, Mempelajari Mikrofluida
Pendidikan bukanlah hal asing bagi Aishah sejak dini. Ayahnya adalah dosen Fisika di Universitas Gadjah Mada. Sementara ibunya lulusan Kimia di kampus yang sama. Ia sempat ikut sang ayah yang sedang menempuh S3 di Queens University, Kanada. Praktis, dunia Fisika dan cita-cita berkuliah di luar negeri tumbuh dalam diri Aishah sedari belia hingga mengambil S1 Teknik Fisika UGM pada 2007 di usianya yang masih menginjak 16 tahun. Masuk dunia perguruan tinggi di saat anak-anak pada umumnya masih di bangku SMA telah menunjukkan bagaimana Aishah sangat fasih dan pandai di dunia akademik khususnya saat menekuni fisika.
“Menurut saya fisika itu sangat konkret ya, sesuatu yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang bola dilempar, kendaraan melaju. Seperti itu kan lebih mudah dipahami” ucapnya yang pernah mendapat medali perak di Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Pekanbaru tahun 2004 saat di bangku SMP.
Eksplorasinya dengan dunia fisika membuatnya ingin mempelajari dengan pendekatan multidisiplin. Singkatnya Aishah mengambil S2 Interdisciplinary Approach to Life Science di Université Paris Descartes pada 2011 dengan beasiswa dari pemerintah Prancis. Kala itu usianya baru 20 tahun.
“Jadi teman saya itu ada yang dari biologi, ada yang kedokteran, dari kimia, dari teknik elektro, dan lain-lain. Kami mempelajari bagaimana mendekati ilmu biologi itu dengan berbagai sudut pandang. Jadi dari komputasinya juga ada programingnya, dari fisika untuk melihat misalnya mekanika sel.” papar Aishah.
Terdapat kewajiban magang untuk melakukan proyek penelitian sekitar tiga sampai empat bulan. Aishah kala itu disuruh bekerja magang di berbagai laboratorium. Dari sinilah justru keinginannya untuk sekaligus melanjutkan pendidikan S3 tumbuh.
“Karena saya merasa penelitian itu kalau cuma misalnya tiga bulan itu kayak baru nyiapin aja ya, belum benar-benar masuk ke dunia penelitian. Jadi saya memang waktu S2 itu langsung mencari untuk lanjut S3-nya seperti itu.” ungkapnya.
Masuk S3 dengan LPDP, dan Kiat Menjalani PhD Life
Merasa tanggung dengan penelitian S2 benar-benar membawa Aishah untuk mengambil pendidikan tertinggi di usia yang relatif muda untuk ukuran mahasiswa doktor, belum genap 30 tahun. Tepat kala itu LPDP baru memulai layanannya pada 2013 dan Aishah mendapat informasi Beasiswa LPDP dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris.
Akhirnya Aishah resmi menjadi mahasiswi Oxford pada 2014. Banyak yang bilang menjalani kehidupan PhD bukan untuk semua orang. Tuntutan menjadi ahli dengan sederetaktivitas akademiknya tak jarang berbuah banyak tekanan. Untuk meminimalisir hal tersebut yang pertama kali disiapkan adalah mentalnya terlebih dahulu selain tentunya memang mencintai ilmu yang ditekuni.
“Mentalnya yang sangat diperjuangkan. Karena tentunya kita harus beradaptasi dengan kultur di sana. Bagaimana mahasiswa lain pada ambis semua. Dari supervisor pun juga cukup tinggi standarnya. Kalau ada yang kurang pasti dikasih feedback, ‘dibantai’ dalam tanda petik untuk hasilkan yang terbaik.” paparnya mengenang.
Aishah ingat kala itu pernah memberi nilai pada mahasiswa di sana sudah cukup bagus sebenarnya. Namun ternyata mereka tak segan bertanya kritis terkait keputusan pemberian nilai tersebut. Mereka ingin berusaha memenuhi ekspektasi agar bisa mendapat nilai yang terbaik. Pengelaman yang jarang atau bahkan tak akan ditemukan di bangku perguruan tinggi nasiona.
Penelitian yang dilakukan Aishah terfokus pada bidang mikrofluida multifase. Secara garis besar, ini adalah teknologi untuk mentransfer dan memproses fluida atau cairan dengan volume yang sangat kecil. Terobosan pemanfaatan mikrofluida dalam skala mikro ini dapat dipakai untuk mengoptimalisasi berbagai eksperimen terkait, baik di laboratorium sampai diagnosis di bidang kesehatan.
Ia mencontohkan pengaplikasian pada drug screening untuk mengetahui respon sel terhadap obat-obatan. Aishah menerangkan, apabila selama ini memakai berbagai tabung reaksi dengan volume besar, dengan mikrofluida skala mikro ini cukup lewat droplet yang volumenya hanya sekian nanoliter atau sekian mikroliter.
Tentunya penelitian yang dibawa Aishah punya potensi besar dalam menghadirkan efisiensi pada kinerja berbagai eksperimen laboratorium dan dunia kesehatan yang berkaitan dengan mikrofluida. Dalam laporan BBC tahun 2015, Aishah menyampaikan bahwa penelitiannya ini sangat relevan bila diterapkan di Indonesia.
"Misalnya untuk membuat alat diagnostik penyakit secara murah dan dapat dilakukan di pelosok yang kurang terjangkau oleh alat laboratorium yang kompleks." ujarnya yang sudah meneliti mikrofluida sejak bangku S2.
Berbagai hasil penelitiannya telah dipublikasikan di jurnal-jurnal Q1 dan juga dikutip puluhan kali.
Kelahiran Praxis High School, Memaknai Ulang Menjadi Peneliti
Menjadi guru sekaligus kepala sekolah yang saat ini dilakoni Aishah jelas belum ada di benaknya sebagai lulusan Oxford. Berkarier sebagai peneliti masih menjadi proyeksi utama setelah rampung studi pada 2019. Tetapi ruang peristiwa kehidupan yang bersamaan kudu dilakoni Aishah telah membawanya pada proses negosiasi baru.
Tak lama setelah wisuda, Aishah melangsungkan pernikahan dengan sang kekasih. Ia sempat menjadi tim peneliti dosen, jeda hamil sekaligus mengurus buah hati perdana, dan pandemi Covid-19 yang menyergap dunia membuatnya harus beresiliensi kembali terkait karier kontribusinya.
Di masa Covid panjang itulah Aishah banyak disibukkan dengan berbagai aktivisme pengajaran. Mulai dari membuka kelas belajar, pengajar academic writing untuk level mahasiswa, sempat mengajar penelitian dan penulisan ilmiah untuk penerima Beasiswa Indonesia Maju (BIM) dan termasuk konsultan untuk mahasiswa yang melanjutkan studi ke luar negeri. Dirinya juga terlibat pengajaran kepada anak-anak SMP dan SMA yang mengikuti lomba penelitian nasional macam Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) dan Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI).
Interaksi daring maupun luring dengan para anak didik dari berbagai wilayah Indonesia cukup memberikan pengalaman lebih luas di dunia pengajaran dan mentorship penelitian. Aishah kemudian bergabung di Alta Global School sebagai guru penelitian dan masih aktif sampai tulisan ini dirilis, dan tawaran merintis sekolah alternatif datang pada 2024. Ini sekaligus sebuah keputusan penting bagi dirinya, apakah benar-benar ingin terjun lebih serius sebagai guru, ataukah lanjut sebagai peneliti dengan mengambil post doctoral.
“Praxis High School sendiri adalah sekolah setingkat SMA. Sebelumnya kami adalah Praxis Academy, itu semacam IT bootcamp. Jadi visinya itu memang menjembatani antara lulusan kuliah atau dunia akademik dengan dunia kerja.” jelas Aishah.
Transformasi dari bootcamp menjadi sekolah tetap membawa visi yang sama yaitu bagaimana menjembatani lulusan siswa didik tidak hanya memiliki skill akademik tapi juga bekal menjadi seorang profesional di bidangnya. Racikan pelajaran dasar bergaya Kurikulum Merdeka dan ditambah kemampuan riset, inovasi, bisnis dan bermacam soft skill lainnya menjadi santapan para murid yang bersekolah di Praxis High School.
“Kemarin mengacu pada penelitian bahwa di masa depan ini nanti dunia kerja akan dipengaruhi banyak hal, terutama otomasi seperti robotika dan AI, itu akan banyak menutup lapangan kerja yang sekarang sudah ada. Tapi juga membuka banyak lapangan kerja baru. Jadi kita melihat ini sebagai tantangan dan peluang. Para siswa kami kemarin belajar AI di kelas satu, belajar coding, kemudian mengikuti kompetisi robotika juga saat ini” cerita Aishah.
Kepemimpinan di Sekolah Praxis
Sekolah Praxis memang masih belia dengan baru ada satu angkatan. Para muridnya berjumlah delapan orang dan duduk di bangku kelas 10. Mendirikan sekolah bukan perkara mudah. Bagi Aishah, tantangannya bukan hanya soal kurikulum, tapi juga soal kepemimpinan. Terus belajar hal baru adalah jalan yang juga sedang ditempuh Aishah.
Beberapa prestasi telah terukir. Selain baru saja memenangkan kompetisi robotika di Vietnam, ada pula salah satu murid Praxis yang berhasil menjadi co-author dalam publikasi artikel jurnal tentang Ilmu Tanah yang tayang di Terra: Journal of Forest Management. Ini sekaligus menunjukkan bahwa metode pembelajaran berbasis STEAM mulai menunjukkan kinerjanya.
Dengan bekal pendidikan tinggi terbaik di dunia melalui Beasiswa LPDP inilah Aishah berhasil memimpin dan membawa SMA Praxis ke level yang berbeda. Meski punya roadmap sebagai peneliti pada awalnya, ia merasa jalan yang ditempuhnya saat ini masih tak jauh-jauh dari dunianya.
“Sebenarnya saya terjun ke dunia pendidikan bisa dibilang tidak sengaja. Karena waktu itu ada pandemi, terus peluang yang besar saat itu menjadi pengajar secara online. Yang saya ajarkan itu juga masih terkait dengan dunia penelitian… jadi ketika merefleksikan pengalaman tersebut ternyata saya tetap mencintai dunia penelitian, tetapi love language-nya sekarang berbeda saja.” sebutnya.
Dari Oxford ke Yogyakarta, dari lab ke ruang kelas, Aishah Prastowo menulis ulang makna kontribusinya, bahwa meski rencana bisa tak sesuai dengan keadaan, tetapi fokus diri tidak boleh hilang. Untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang, migunani tumraping liyan, dengan ilmu yang sudah didapat.
“Jangan takut atau merasa minder, jangan down. Kalau misalnya dirasa belum memberi impact yang besar, ya justru impact-impact yang kecil ini yang bisa lebih dirasakan manfaatnya buat orang-orang sekitar” pesannya.
Di penutup akhir wawancara, Aishah menekankan pentingnya seorang pendidik, seorang guru untuk mengejar pendidikan tertinggi dari S1, S2, hingga bahkan S3 sepertinya. Zaman bergerak, inilah strategi peningkatan SDM bangsa sedari bangku sekolah dasar.
“Saya mengajak guru-guru di Indonesia untuk yang ingin lanjut S2, S3 untuk bisa memperjuangkan dan meraih mimpi-mimpinya dengan Beasiswa LPDP” serunya.
Perjalanan Aishah masih panjang. Ladang yang digarap masih terhampar guna memberi kontribusi berdampak, investasi peningkatan SDM bagi banyak orang. Dimulai dari hal-hal yang dianggap terlalu kecil.